(Genta Andalas/ Riski Wahyudi)

Oleh: Yora Elsha Syaputri*

Istilah bencana digunakan untuk mengartikan setiap peristiwa yang membawa malapetaka dan merugikan manusia, contohnya seperti bencana alam yaitu badai, gempa bumi, tornado, banjir, tsunami dan kebakaran yang terjadi didaerah geografis tertentu. Selain itu  juga ada bencana yang disebabkan oleh manusia misalnya perang, konflik politik, kekerasan massal, dan kecelakaan yang juga sangat mempengaruhi keselamatan individu dan masyarakat.

Finkelhor & Kendall-Tackett (1997) mendefinisikan bencana sebagai peristiwa yang disebabkan alam atau manusia, yang mana satu kali peristiwa tersebut terjadi dapat menyebabkan sekelompok orang mengalami stres dikarenakan ancaman kematian, kehilangan, terganggunya sistem dukungan sosial, dan ketidakamanan kebutuhan dasar seperti makanan, air, tempat mengungssi dan akses bertemu anggota keluarga. Pratiwi (2011) menyatakan bahwa bencana sering kali terjadi di Indonesia tanpa dapat dicegah dan diprediksi sehingga menyebabkan banyak korban yang terdampak akan berada pada kondisi trauma yang cukup tinggi.

Terjadinya bencana tidak selalu hanya memberikan dampak fisik saja tetapi terbukti terkait dengan masalah kesehatan mental seperti anxiety (kecemasan), stress, depresi dan gangguan trauma pascabencana. Dalam terjadinya bencana selalu terdapat sekelompok masyarakat yang disebut sebagai kelompok rentan. Penelitian tentang kelompok rentan bencana sudah mulai dilakukan di Indonesia terutama saat terjadinya bencana itu sendiri.

Berdasarkan Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana yang diterbitkan langsung oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB yang mana memuat salah satu penelitian dalam bidang psikologi bencana yang berjudul Upaya Pengurangan Resiko Bencana pada Kelompok Rentan. Penelitian ini dilakukan oleh Juli Sapti Siregar dan Adik Wibowo pada tahun 2019 yang menggunakan berbagai macam studi literatur tentang penanggulangan bencana dan kelompok rentan bencana seperti jurnal bencana, SFDR, dan undang-undang kebencanaan di Indonesia. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa kelompok rentan merupakan kelompok yang dinilai memiliki resiko tinggi karena dinilai kurang memiliki kemampuan dalam mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yang akan terjadi.

Selain itu, kelompok rentan bencana juga diperkirakan akan mengalami dampak bencana yang lebih berat dibandingkan dengan yang bukan kelompok rentan. Terdapat empat kelompok rentan yaitu anak-anak, penyandang disabilitas, lansia, dan perempuan.

Anak-anak menjadi kelompok rentan dikarenakan berada pada faktor usia yang masih kecil dan belum mengalami kematangan dalam pertumbuhan sehingga dapat secara langsung terpapar dampak ketika terjadinya bencana. Oleh karena itu, sistem pemerintahan di Indonesia telah mengeluarkan suatu undang-undang yang berkaitan dengan paparan bencana pada anak, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mana anak-anak dikelompokkan dalam kategori rentan (Pahleviannur, 2019).

Hal ini menunjukkan, bahwa anak-anak perlu penanganan dan perhatian khusus ketika terjadi bencana. Kerentanan anak-anak terhadap bencana dipicu oleh faktor keterbatasan pemahaman tentang risiko-risiko di sekeliling mereka, yang berakibat tidak adanya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana (Pahleviannur, 2019).

Selain itu, Resilensi bencana yang kurang terhadap anak-anak juga menambah kemungkinan anak-anak terpapar bencana semakin tinggi. Resilensi adalah faktor protektif untuk mempertahankan kesehatan jiwa akibat bencana (Niman & Sari, 2021). Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa pada anak-anak juga menentukan kerentanan terpapar bencana.

Mengutip dari Kompas.com, salah satu contoh bencana sosial yang baru terjadi pada anak yaitu perilaku kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pimpinan salah satu pondok pesantren di Bandung yaitu HW (36) terhadap 12 orang santriwati yang masih dibawah umur. HW menjanjikan kepada korban akan membiayai pendidikan hingga tingkat lanjut serta mengancam korban untuk tidak menceritakan perilaku bejat HW ini kepada orang diluar pesantren. Bahkan perilaku tercela HW ini mengakibatkan beberapa diantara santriwati tersebut melahirkan dan anak-anak itu dijadikan alasan untuk meminta sumbangan kepada warga sekitar. Peristiwa ini memberikan dampak psikis dan traumatis kepada korban terutama korban masih dibawah umur.

Mengalami reaksi traumatis yang berkelanjutan dapat memicu munculnya gangguan psikologis seperti PTSD (Post traumatic stress disorder). Menurut Tentama (2015) PTSD merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap pengalaman atau kejadian yang menimbulkan peristiwa traumatis.

Menurut Lubit, Rovine, Defrancisci, & Eth (2003) berpendapat bahwa PTSD yang terjadi pada anak akan dapat menyebabkan masalah perkembangan sehingga dapat memicu munculnya gangguan kesehatan mental yang lainnya seperti kecemasan, stress, depresi, serangan panik dan gangguan kepribadian.

Gejala PTSD yang dialami oleh anak berupa, merasakan takut dengan berlebihan, jantung berdetak kencang, wajah dan tangan tampak memucat dan dibanjiri keringat, menangis ataupun menutupi telinga untuk menghindari sesuatu yang dapat memicu terjadinya trauma. Gejala lain yang diraskan oleh anak adalah tidak dapat berkonsentrasi saat berada di sekolah, gelisah pada saat-saat tertentu, mudah kaget, kesulitan ketika hendak tidur bahkan tidak tertarik lagi dengan kehidupan sosialnya.

Tidak hanya bencana sosial saja tetapi bencana alam seperti meletusnya Gunung Semeru di Jawa Timur juga dapat mengakibatkan serangkaian dampak yang mana akan berpengaruh terhadap kesehatan mental, diantara gangguan kesehatan mental yang dialami oleh anak berupa perubahan sikap seperti menjadi lebih sensitif, mudah marah, melihat atau mendengar sesuatu yang mengingatkan kepada bencana yang pernah dialami akan langsung menangis, anak yang awalnya ceria dan aktif setelah terjadinya bencana cenderung lebih banyak diam dan menarik diri.

Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu tindakan pelayanan kesehatan pascabencana tidak hanya bagi korban yang membutuhkan perawatan secara fisik tetapi juga psikologis untuk dapat membantu memberikan penanganan terhadap anak-anak yang terpapar masalah terkait kesehatan mental.

Pencegahan pada kelompok rentan dapat juga dilakukan dengan melibatkan kelompok rentan itu sendiri dalam pengurangan resiko dampak dari bencana. Kelompok rentan bukan berarti kelompok yang hanya bisa pasrah dan menerima apa yang ada dan terjadi kepada mereka, namun kelompok rentan juga bisa mengubah peran dari objek rentan yang rawan terkena bencana menjadi subjek yang siap untuk menghadapi bencana yang akan dihadapi di masa depan.

 

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Psikologi 2019  Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here