(Ilustrator/Aisyah Luthfi)

Oleh: Asa Alvino Wendra*

Ada berbagai macam usaha yang dilakukan agar seseorang mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Mulai dari membuka usaha, bekerja untuk orang lain, hingga yang paling mirisnya mengemis. Mengemis merupakan cara mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta kepada orang lain melalui berbagai motif dan alasan agar mendapat belas kasihan. Pada kenyataannya saat ini mengemis tidak hanya dilakukan masyarakat secara langsung, ada cara lain yang dilakukan yakni dengan memanfaatkan media sosial.

Media sosial merupakan suatu media yang digunakan dalam komunikasi agar saling terhubung antar satu orang ke masyarakat secara luas. Selain itu banyak juga orang yang menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berkreasi, misalnya dengan membuat berbagai konten yang dapat menarik perhatian masyarakat. Namun sangat disayangkan saat ini tidak semua konten yang dihasilkan oleh kreator memberikan dampak baik,  salah satunya tren Mandi Lumpur.  

Saat ini tren Mandi Lumpur tengah ramai diperbincangkan, karena konten ini dianggap sebagai salah satu bentuk mengemis yang dilakukan masyarakat melalui media sosial. Konten Mandi Lumpur  merupakan konten yang berisi aktivitas mandi lumpur di suatu kolam yang disiarkan secara langsung untuk menarik simpati masyarakat yang menonton. Melalui konten ini para kreator mengharapkan gift dari pengguna lain yang menonton video agar nantinya bisa ditukarkan dengan uang. Awalnya konten ini dibuat oleh salah satu pengguna media sosial TikTok, dan berhasil menyita perhatian publik. Setelah viral dan meraup banyak gift, akhirnya ramai masyarakat yang mengikuti tren ini.

Setelah viral ternyata banyak pihak yang mengecam aktivitas yang dilakukan dalam konten ini dengan berbagai alasan pertama, terkait waktu yang dilakukan oleh para kreator dalam konten ini dilaksanakan tak menentu dan tak terkecuali pada malam hari. Dari sisi kesehatan  saja mandi atau basah-basahan saat tengah malam sangat tidak baik bagi kesehatan, apalagi kerap ditemukan yang melakukan mandi lumpur adalah lansia. Hal ini diperburuk dengan kualitas air yang sudah terkontaminasi mikroorganisme. Air kotor bisa saja mengandung bahan kimia berbahaya seperti logam berat, limbah, bahan organik serta anorganik berupa buangan dari makhluk hidup seperti feses. Banyak penyakit kulit yang bisa ditimbulkan dari air kotor ini, dilansir dari halodoc.com air kotor bisa menimbulkan penyakit kulit seperti kurap, infeksi kulit, dermatitis alergi, serta penyakit kulit akibat gigitan hewan. Tidak hanya itu, mandi lumpur juga bisa menimbulkan infeksi jika ada luka pada kulit yang terkena air kotor tersebut. Mandi lumpur yang dilakukan pada malam hari juga bisa menyebabkan kedinginan yang berujung hipotermia pada kreator yang melakukannya.

Kedua, cara kreator untuk mengambil simpati penonton dengan mengorbankan diri sendiri merupakan bentuk eksploitasi pada manusia, terutama pelaku dalam tren tersebut yang banyak juga merupakan wanita lansia. Dari aksi ini tak jarang pula ditemukan penonton yang justru merasa terhibur dengan aksi mandi lumpur tersebut. Dilansir dari merdeka.com, fenomena berupa senang atas penderitaan orang lain disebut schandenfreude. Mereka yang merasa senang atas penderitaan orang lain cenderung tidak memanusiakan korban, tidak memiliki empati, dan merupakan cara yang salah dalam mendapatkan kebahagiaan. Menteri Sosial, Tri Rismaharini juga menyampaikan bahwa segala bentuk mengemis tidak diperbolehkan.

Ada berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari tren mandi lumpur ini. Orang yang melihat tren ini sebagai peluang nantinya juga akan ikut-ikutan dalam melakukan mandi lumpur ini. Tentu kita harus mencegah tren ini agar tidak berlanjut nantinya. Mulai dengan tidak menonton konten sejenis mandi lumpur dan mengingatkan orang terdekat agar tidak mengikuti tren tersebut. Selain itu, pemerintah diharapkan juga harus bertindak tegas untuk kegiatan mengemis dalam bentuk apapun

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Andalas.

Editor: Tiara Juwita

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here