(Ilustrasi/Fadhilla Lisma Sari)

Oleh: Putri Salsabila Eryadi*

Istilah inses biasa digunakan untuk mengartikan hubungan seksual antara orang-orang yang dilarang oleh adat atau hukum karena hubungan kekerabatan mereka yang dekat. Menurut Courtois C.A (2010), inses adalah berbagai perilaku yang mencakup antara individu dengan berbagai tingkat keterkaitan, dengan efek potensial yang sama. Courtois membedakan antara inses konsekuen, atau kontak seksual antara saudara sedarah; kontak seksual antara anak dan individu yang terlibat baik secara hukum maupun kontraktual (perkawinan dengan orang tua anak, adopsi anak, atau melayani sebagai orang tua asuh) dan inses kuasi-relatif, di mana terdapat kontak seksual antara seorang anak dan individu yang terlibat dengan keluarga dan mengambil peran keluarga yang terkait dengan fungsi dan tanggung jawab pengasuhan.

Perilaku inses merupakan perilaku terlarang yang dikutuk baik secara hukum negara, masyarakat,  dan disanksi oleh hukum agama. Inses termasuk salah satu tindak pidana yang diatur dalam pasal 294 ayat 1 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercajakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau orang sebawahnya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”. (K.U.H.P. 91). Di beberapa masyarakat adat di Indonesia sendiri perilaku inses tidak diperbolehkan, misalnya tidak diperbolehkannya menikah sesama suku pada Suku Batak dan Suku Minang. Selain itu di dalam hukum Islam pernikahan sedarah di larang, hal ini jelas tercantum pada Quran Surat Annisa ayat 23. Namun, meskipun begitu, kasus inses di Indonesia nyatanya masih marak terjadi.

Belum lama ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan kasus pelecehan seorang ayah terhadap anak kandung di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.  Dilansir dari Kumparan.com, pelaku yang bernama Herman (52)  melecehkan anaknya yang berinisial AM yang saat itu baru berusia 13 tahun hingga melahirkan anak perempuan. Mirisnya, anak perempuan yang lahir dari hubungan terlarang itu, juga mengalami pencabulan oleh pelaku hingga hamil dan melahirkan. Kasus ini mulai terungkap berawal dari kecurigaan petugas sensus penduduk yang melaporkan ke pihak Polres Minahasa dan ke Pemerintah Desa terkait temuan dua penduduk di Kecamatan Kombi yang sudah memiliki anak namun belum bersuami.

Selain kasus yang tengah geger beberapa waktu tersebut, nyatanya fenomena inses di Indonesia  tak sekali dua kali terjadi. Dilansir dari CNN Indonesia, ada beberapa kasus inses yang terungkap   dalam beberapa tahun belakangan, misalnya kasus inses yang terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, seorang kakak menikahi adiknya yang sudah dalam kondisi hamil. Selanjutnya pada Februari 2019 di Kabupaten Pringsewu, Lampung, remaja perempuan berinisial AG (19) dilecehkan oleh ayah, kakak, dan adik kandungnya sendiri. Pada Maret 2019, kasus inses yang dilakukan oleh ayah terhadap putri kandungnya juga terjadi di Kabupaten Pasaman, Sumatra Barat, dan baru diketahui setelah menjalin hubungan terlarang tersebut selama tujuh tahun. Lalu di Garut, Jawa Barat, seorang ayah menghamili anak kandungnya sampai sang anak melahirkan bayi dari hubungan tersebut.

Perilaku inses sendiri termasuk dalam tindak kekerasan apabila terdapat ketidakseimbangan dari kedua individu dalam hal umur, kuasa, dan pengalaman. Pemikiran bahwa korban kemungkinan menginginkan, mencari, atau memberikan persetujuan dalam perilaku inses adalah hal yang salah. Perilaku korban tersebut tidak lain disebabkan karena mereka sudah dihasut, dipaksa, atau hasil dari tekanan yang terjadi dari ancaman pelaku yang lebih berkuasa terhadap korban. .Hubungan yang dekat antara pelaku dan korban sebagai keluarga memberikan trauma yang rumit bagi korban, yaitu trauma relasional dan trauma pengkhianatan. Menurut Sheinberg dan Fraenkel (2001), trauma relasional mengarah pada kehilangan kepercayaan pada orang lain dan meningkatnya kemarahan, sakit hati, dan kebingunan tentang hubungan keluarga. Sedangkan trauma pengkhianatan menurut Freyd (1996), mencakup rasa sakit yang diasosiasikan dengan pengkhianatan dari pelaku sebagai anggota keluarga yang memiliki kewajiban untuk melindungi dan mengasuh korban.

Oleh karena itu, otoritas terkait, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas HAM Indonesia harus mengambil tindakan drastis untuk mencegah kasus tersebut terjadi di masyarakat. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah fenomena inses disekitar kita,  pertama adalah menyadari akan pentingnya pemahaman tentang inses dan dampak buruknya bagi korban. Inses terjadi dalam hubungan keluarga dengan orang-orang yang kita percayai yang seharusnya melindungi kita. Para korban inses biasanya kesulitan dalam menyampaikan perasaan dan keluhannya terhadap orang lain disekitar terhadap hal yang dialaminya.

Kedua, menyadari bahwa terdapat kemungkinan terjadinya hubungan inses dalam keluarga kita sendiri. Apabila kita menjadi korban dari kekerasan dari pihak keluarga atau dari luar, kita wajib untuk melaporkannya kepada pihak berwajib agar perilaku tersebut tidak semakin parah. Mayoritas hubungan inses tidak dilaporkan kepada pihak berwajib oleh pelaku ataupun korban dan rata-rata hubungan tersebut sudah berjalan selama sebulan, setahun, atau bahkan bertahun- tahun.

Ketiga memberikan edukasi terhadap anak- anak tentang seksualitas dan boundaries agar tidak terjadi pelecehan dan kekerasan dari pihak yang memiliki kuasa lebih besar. Anak-anak biasanya tidak mampu dalam menyampaikan hal-hal yang dialaminya yang berkaitan dengan seksualitas. Selain itu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak juga merupakan faktor penting agar terciptanya tumbuh kembang anak yang positif dengan dikelilingi orang-orang yang memberikan perlindungan pada anak. Terakhir adalah tahu bagaimana harus bereaksi apabila ada korban yang menceritakan bahwa ia merupakan korban inses. Hal utama adalah mempercayai anak tersebut, yakinkan bahwa sang anak sudah melakukan hal yang benar dengan menceritakan tindak kekerasan tersebut dan tindak kekerasan tersebut terjadi bukan karena kesalahnya. Saat anda ingin mengambil aksi dalam tindakan tersebut, pastikan anak tahu akan konsekuensi yang akan terjadi. Libatkan anak dan hormati perasaannya ketika akan mengambil tindakan dalam mengakhiri kekerasan tersebut.

*Penulis merupakan mahasiswa Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here