Oleh: Raudhatul Tassya Khairunnisa*
Kekerasan seksual bukanlah hal yang tabu didengar oleh masyarakat. Kekerasan seksual dianggap sebagai kejahatan terhadap martabat kemanusian yang dikaitkan dengan tubuh dan seksualitas. Rata-rata korban dari kekerasan seksual ini adalah perempuan. Meski di beberapa kasus, perempuan juga bisa menjadi pelaku. Hanya saja laki-laki yang lebih besar berpotensi sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap pasangannya.
Dilansir dari halodoc.com, alasan mengapa perempuan sangat rawan menjadi korban kekerasan seksual adanya pandangan bagi perempuan jika masuk dalam hubungan yang tidak sehat dengan dikontrol oleh pasangan, maka itu adalah bentuk rasa cinta. Hal ini banyak sekali terjadi dikalangan anak muda. Terlebih lagi, saat anak muda sedang kecanduan membaca novel romantik dan drama yang terlalu dilebih-lebihkan. Lalu, adanya budaya patriaki di mana laki-laki selalu dijunjung tinggi. Kerap kali, karena budaya inilah laki-laki lebih mendominasi sebagai pelaku kekerasan seksual dengan menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan apa yang mereka mau dari perempuan. Selanjutnya adalah kurangnya pemahaman tentang pendidikan seksual di Indonesia. Pemerintah sudah menggencarkan edukasi seks di setiap sekolah dan perguruan tinggi, hanya saja pemahaman masyarakat masih belum terlalu dalam terhadap kekerasan seksual.
Data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi pada tahun 2023 ini mencapai 3.798 dengan korban lebih banyak adalah perempuan. Korban dari kekerasan seksual ini yang paling tinggi antara umur 13 hingga 17 tahun dengan kasus yang banyak terjadi di Pendidikan tingkat SLTA.
Sekian banyak kasus kekerasan, sebenarnya apa itu kekerasan seksual? Menurut WHO (2017) kekerasan seksual dapat berupa Tindakan serangan seksual berupa pemerkosaan (termasuk pemerkosaan oleh warga negara asing, dan pemerkosaan dalam konflik bersenjata) sodomi, kopulasi oral paksa, serangan seksual dengan benda, dan sentuhan atau ciuman paksa. Sedangkan dilansir dari dpr.go.id, dalam UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual Pasal 1 ayat 1 dengan bunyi “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Pada Selasa (20/6/2023), seorang siswi SMP diperkosa oleh empat orang setelah sebelumnya dicekoki minuman keras. Usai kejadian itu, korban mengalami trauma dan juga mengalami pendarahan hingga membutuhkan transfusi darah setiap harinya di RSUD Subang. Korban diperkosa oleh empat orang usai dicekoki minuman keras. Selain itu, korban juga mengalami trauma yang cukup berat dan dari pihak keluarga sudah meminta pendampingan psikologi untuk korban.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Pada kasus ini, pelaku dapat dijerat pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman pidana 12 tahun penjara.
Kasus Kekerasan Seksual saat ini sudah sangat memprihatinkan karena telah banyak terjadi di berbagai tempat yang menurut kita sendiri aman dan nyaman. Tempat-tempat yang mungkin saja dapat terjadinya kekerasan seperti pada Lembaga Pendidikan, sekolah atau pesantren, bahkan dalam lingkungan keluarga. Banyak sekali kasus kekerasan seksual yang menjadikan masyarakat lebih berhati-hati dalam penjagaan diri.
Hal itu disebabkan kurang disaringnya berita atau info yang berkaitan dengan hal-hal berbau vulgar. Canggihnya teknologi saat ini, terutama mudah diaksesnya hal-hal lain, turut menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Terutama perlu adanya perhatian dalam memakai ponsel bagi anak-anak. Harus adanya edukasi seks yang menjadi dorongan bagi pemerintah agar dapat mencegah terjadinya perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual tersebut.
Selain itu, pendekatan pada Yang Maha Kuasa juga menjadi faktor agar mencegah perilaku menyimpang tersebut. Dengan mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa menjadikan kita jauh dari segala bentuk zina atau perilaku menyimpang. Selalu berada di jalan yang benar dapat kita dalam diri kita masing-masing.
*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.