(Ilustrator/Resti Rasyid)

Oleh: Aprila Aurahmi

Belum lama ini, Universitas Andalas (UNAND) digegerkan dengan adanya kasus revenge porn. Diketahui terduga pelaku merupakan mahasiswa dari Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) angkatan 2017 yang melakukan tindak tercela tersebut kepada seorang wanita asal Pekanbaru. Dalih terduga pelaku melakukan revenge porn dikarenakan bahwa ia tidak setuju hubungan asmaranya berakhir dengan korban. Ia lalu menyebarkan video rekaman korban dalam keadaan pakaian terbuka kepada pelanggan coffee shop, tempat kerja korban dan sosial media sehingga korban tidak bisa bekerja lagi. Dampak dari kasus ini, korban menjadi sulit diajak berkomunikasi dan mentalnya terganggu. Sementara itu, terduga pelaku sudah dilaporkan ke pihak berwajib sejak bulan Mei 2023.

Revenge porn adalah kegiatan penyebaran konten yang dapat merusak reputasi secara digital dengan motif balas dendam. Revenge porn juga dikenal sebagai pornografi nonconsensual. Pada kasus ini, terduga pelaku menyebarkan video “Pornografi balas dendam” sebab tidak terima hubungannya kandas.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan bahwa revenge porn sebagai malicious distribution atau penyebaran konten yang merusak reputasi secara digital dengan motif balas dendam. Penyebaran konten pornografi ini mungkin dilakukan oleh orang-orang terdekat atau lainnya sebagai wujud  kecemburuan maupun rasa tidak terima. Adapun tujuan dari tindakan tersebut termasuk mempermalukan, melecehkan, mengintimidasi,  menyuap dan yang terparah merusak hidup korban. Perlakuan ini termasuk kedalam kekerasan seksual. Pada beberapa kasus kejahatan ini dilakukan dengan memaksa korban baik secara verbal maupun nonverbal ataupun tidak adanya paksaan. Sebab, ada yang direkam secara diam-diam ataupun dalam beberapa kasus ponsel korban diretas oleh hacker.

Padahal, di Indonesia menyebar foto telanjang adalah sebuah tindakan larangan dan terdapat sanksi bila melanggarnya. Dalam UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi secara tegas menyebutkan larangan dan sanksi bagi penyebar foto telanjang. Lalu, pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Melansir dari alodokter.com, dampak dari adanya tindak kejahatan ini yaitu membuat korbannya merasa malu, takut, marah, kecewa, cemas, tidak berdaya, kehilangan harga diri, dan stress. Bila tidak mendapat pendampingan, korban bisa mengalami gangguan mental, seperti gangguan kepribadian paranoid, depresi, atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), bahkan terpikirkan untuk bunuh diri. Akibat dari rasa malu yang membelenggu, korban dari revenge porn sering kali tidak punya minat untuk bersosialisasi dan berujung mengurung diri. Akibatnya, hubungan dengan keluarga, teman, dan perkejaan bisa rusak.

Orang yang mengalami revenge porn sering menghadapi viktimisasi dan stigma negatif dari masyarakat. Bahkan seringkali mereka tidak mendapatkan perlindungan yang seharusnya.  Padahal, orang yang mendistribusikan konten tersebut harus bertanggung jawab terhadap tindakannya. Pada kasus seperti ini, korban sering mendapati sorotan dari publik dan tidak fokus kepada kesalahan pelaku sebagai dalang utama.

Oleh sebab itu, jika terdapat teman, keluarga dan kenalan yang terseret kedalam revenge porn sebaiknya tunjukan rasa empati dan dukungan moral yang tinggi kepada korban. Lalu, alangkah baiknya jika terdapat konten yang diduga revenge porn tersebar di media sosial, lebih baik akun yang menyebarkannya diblokir serta dilaporkan kepada pihak berwajib. Kita sebagai pengguna sosial media juga harus pintar dan pandai dalam menyaring konten untuk dikonsumsi.

*)Penulis merupakan Mahasiswa Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here