(Ilustrator/Ifran Adhala Zikri)

Oleh: Fahara Azzah Syafaqoh*

Akhir-akhir ini, media Indonesia ramai memberitakan dan membicarakan berbagai kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh pelaku kepada perempuan. Seperti kasus pembunuhan, kekerasan seksual, pelecehan seksual terhadap perempuan, dan lainnya. Tindak kekerasan tersebut tidak hanya terjadi pada perempuan dewasa saja, melainkan pada anak-anak pun dapat terjadi. Tindak kekerasan tersebut dapat terjadi di kampus ataupun tempat-tempat umum. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA) 2023 mencatat 10.807 dari 12.040 dari kasus kekerasan yang terjadi dialami oleh korban perempuan.

Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku kasus kekerasan tersebut, misal adanya perasaan tidak senang atau benci pelaku terhadap korban perempuan, memiliki dendam pribadi, dan lainnya. Perilaku tidak senang atau benci terhadap benci terhadap perempuan secara ekstrem disebut misogini. Contoh kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencakup kekerasan seksual ialah berupa kekerasan dalam rumah tangga, terorisme, femisida, dan lainnya.

Menurut Oxfod English Dictionary kata bahasa Inggris “misogyny” diciptakan pada pertengahan abad ke-17 dari bahasa Yunani misos yang berarti kebencian dan gune yang berarti perempuan. Kata ini jarang digunakan hingga pada akhirnya dipopulerkan oleh feminisme gelombang kedua pada tahun 1970-an.

Menurut ahli Sosiolog, Allan G. Jhonson, misogini adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan. Dari hal ini, Jhonson berpendapat bahwa kebencian terhadap perempuan merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi, dengan demikian merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang di dominasi laki-laki. Misogini diwujudkan dengan berbagai cara, mulai dari lelucon pornografi, kekerasan terhadap perempuan hingga penghinaan diri sendiri dapat diajarkan untuk merasakan arah tubuh mereka sendiri.

Sindrom misogini sangat sulit untuk dapat ditelusuri, sebab kita tidak dapat menganalisis kasus ini secara gamblang. Sindrom misogini pun juga pernah diangkat dalam karya sastra pada sebuah novel Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam Joo. Dalam novel tersebut berbicara mengenai wanita yang bernama Kim Ji-Yeong. Ia terlahir di keluarga yang mengharapkan sosok anak laki-laki dan menjadi bulan-bulanan para guru laki-laki di sekolah dan menjadi korban yang disalahkan oleh ayahnya ketika ia diganggu. Kim Ji-Yeong pun semasa kuliah tidak pernah direkomendasikan oleh dosennya untuk pekerjaan magang di perusahan ternama dan semasa kerja juga tidak pernah mendapatkan promosi. Hingga akhirnya, Kim Ji-Yeong pun melepaskan karirnya demi membesarkan anaknya.

Kim Ji Yeong mulai bertingkah laku aneh yaitu mulai mengalami depresi. Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia. Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis dan penindasan institusional yang relevan saat ini (Febriyanti, Rina Husnaini dalam Misoginisme dalam novel Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 Karya Cho Nam-joo: Kajian Feminisme Sastra. Hlm. 162).

Isu misogini pun pernah terjadi di kota Thangsan, China. Dilansir dari bbc.com pada 24 Juni 2022 terjadi perilaku kekerasan oleh seorang lelaki kepada perempuan secara tiba-tiba. Perempuan tersebut kaget akibat aksi dari lelaki tersebut dan menyuruh mereka untuk pergi. Hingga pada akhirnya, lelaki tersebut memukul kepala perempuan tersebut hingga terpelanting ke lantai. Lalu, teman-teman dari lelaku tersebut juga ikut melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan ini. Kursi dan botol dijadikan senjata untuk memukul perempuan tersebut.

Tindakan kekerasan tersebut tentunya tidak dapat ditolerir. Perilaku tersebut mencerminkan bahwa perempuan sebagai makhluk hidup yang lemah, tidak berdaya, dan pantas mendapatkan kekerasan. Budaya patriarki pun menjadi alasan dibaliknya isu misogini tersebut. Sejak dahulu, pemikiran bahwa anggapan lelaki adalah pemegang kuasa dan memiliki tingkat kekuasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa perilaku misogini tidak dapat kita ambil kesimpulannya secara gamblang. Sebab bentuk, sifat, dan motif tindakan yang dilakukan perlu ditelusuri dahulu. Selain itu, dampak dari misoginis ini adalah tidak adanya lagi kepercayaan pada seseorang. Kedepannya, akan lebih marak terjadinya kasus tindak kekerasan seksual yang terjadi. Lalu adanya tindakan mendominasi kekurangan seseorang yang kemungkinan akan melakukannya secara seksual.

Untuk menghindari sikap ini, perlu adanya kesadaran akan ketimpangan gender di dalam masyarakat yang dimana budaya patriarki masih terasa kuat. Mulai untuk tidak menormalkan hal-hal yang berbau seksisme dimana pemikiran ini dapat mengakar pada sistem patriarki. Selain itu, jangan pernah menghakimi apapun yang dipakai oleh perempuan karena perempuan bebas berekspresi sesuka yang dia mau, selama itu masih dalam batas wajar dan baik.

Meskipun perlakuan misoginis sering dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa terhadap sesama perempuan pun bisa saja terjadi. Seperti adanya perasaan takut tersaingi dan membutuhkan validasi ketika berhadapan dengan laki-laki yang disukainya. Misoginis terhadap perempuan juga harus diperhatikan, karena apabila terus berlanjut maka akan menimbulkan perpecahan yang semakin mudah untuk laki-laki mengadu domba antar perempuan dengan meningkatkan rasa benci mereka terhadap sesama perempuan.

*) Penulis merupaka mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here