oleh: Zulkfili Ramadhani 

Dalam politik terdapat peranan yang berbeda-beda yang menerapkan konsep trias politika yaitu pembagian kekuasaan tiga jenis yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif guna memastikan terjadinya keseimbangan kekuasaan serta terbagi kewenangan mengontrol satu sama lain sehingga terhindari abuse of power atau penyalagunaan kekuasaan dari pihak penguasa.

Di dalam konsep trias politika juga terdapat prinsip check and balance yang berarti saling kontrol dan keseimbangan yang bertujuan memaksimalkan fungsi tiap- tiap lembaga negara. Dengan konsep yang meyakinkan tersebut, seharusnya pemerintahan akan berjalan dengan baik dan semua kerja lembaga dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Tetapi, sayangnya penerapan konsep tersebut masih belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia.

Dalam pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia, pembagian kekuasaan justru tidak tampak, karna masing- masing pemenang berasal dari kelompok yang sama. Hanya Pemilu 2004 suara terbanyak di DPR dan eksekutif tertinggi yakni Presiden tidak berasal dari satu partai yang sama. Dari hasil pemilu tahun 2004, presiden dan wakil presiden terpilih dari koalisi partai Demokrat dan partai dengan suara terbanyak di pemilu legislatif saat itu dari partai Golkar. Dengan terbaginya kekuasaan dari hasil pemilu 2004 tersebut setidaknya menjadi awal untuk menjamin adanya kontrol tiap lembaga dan terhindar dari kekuasaan hanya pada suatu kelompok. Namun pada pemilu berikut-berikutnya partai suara terbanyak di DPR dan calon presiden-wakil presiden terpilih berasal dari kelompok partai pengusung yang sama.

Di pemilu 2009, presiden dan wakil presiden terpilih dari koalisi partai Demokrat dan partai suara terbanyak di DPR juga dari Partai Demokrat. Pada pemilu 2014 dan 2019, presiden dan wakil presiden terpilih dari koalisi partai PDI Perjuangan dan partai suara terbanyak di DPR juga dari partai PDI Perjuangan. Kondisi yang terjadi dari pemilu di 2009 tersebut bukanlah hal yang ideal. Seharusnya kelompok legislatif dan eksekutif tidak boleh dari suatu kelompok yang sama. Walaupun seharusnya bagi setiap anggota DPR otomatis akan menjadi oposisi alami pemerintah dengan fungsi pengawasannya, tetapi tidak akan maksimal menjalankan kewenangannya ketika kondisi saat ini di Indonesia anggotanya terikat dengan partai dan eksekutif terpilih juga berasal dari koalisi partainya.

Kondisi minimnya oposisi di pelaksanaan pemerintahan Indonesia saat ini juga dikeluhkan oleh Direktur Pusat Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Wijayanto yang mengibaratkan DPR menjadi kelompok paduan suara bersama pemerintahan.

“Absennya lawan politik memberi kita parlemen yang menjadi paduan suara bersama pemerintah,” ujar Wijayanto dalam webinar Ritual Oligarki Menuju 2024 pada Minggu, (29/1/2023).

Tidak maksimalnya pembagian kekuasaan di Indonesia ini praktiknya secara langsung dapat dilihat salah satunya kasus pemindahan ibu kota negara yang pengesahannya sebagai undang-undang hanya dalam 43 hari yang tentunya sangat cepat untuk sebuah kebijakan yang menentukan ibu kota bagi negara dan akan memerlukan anggaran yang sangat banyak. Selain itu juga ada berbagai undang-undang disahkan yang banyak terdapat pengabaian suara publik seperti UU Cipta Kerja, RKUHP, dan Revisi UU KPK.

Dari hal tersebut, kita sebagai orang yang mendapatkan hak untuk memilih pada pemilu tahun 2024 ini di 14 Februari mendatang harus benar-benar bijak dalam memilih pemimpin salah satunya dengan membedakan kelompok yang akan menjadi eksekutif dan legislatif. Dengan begitu, dapat menjadi awal untuk menjaga keseimbangan persebaran kekuasaan.

Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here