(Ilustrasi/ Vivi Sriani)

oleh: Vivi Sriani

Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk sejak tahun 2003 telah mewarnai perkembangan hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Putusan-putusan MK mengejutkan banyak pihak dan mendorong kehidupan berbangsa dan bernegara lebih dinamis. Salah satu putusan yang mendapat perhatian publik adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 yang dibacakan pada tanggal 10 Juni 2024. Keputusan tersebut berisi tentang perintah agar KPU mengikutsertakan Irman Gusman sebagai peserta pemilihan umum calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sumatera Barat. Dengan adanya keputusan terbaru dari MK tersebut secara otomatis membatalkan keputusan KPU 1563/2023.

Sebelumnya PTUN telah mengabulkan permohonan Irman Gusman untuk ikut serta dalam Pileg Februari 2024 lalu. Namun, putusan tersebut tidak diindahkan KPU. Ketidakpatuhan KPU untuk melaksanakan Putusan PTUN Jakarta 600/2023, berkaitan dengan desain konstitusional syarat mantan terpidana untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPD yang mensyaratkan adanya masa jeda 5 tahun.

Dari sudut pandang hukum dan proses pengadilan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerintahkan pemilihan ulang agar Irman Gusman dapat mengikuti kontestasi pemilu DPD Sumatera Barat sudah didasarkan pada penafsiran hukum dan fakta-fakta yang diajukan dalam persidangan sesuai dengan pasal 24 c ayat (1) UUD 1955. MK sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam hal konstitusi berwenang untuk memutuskan dalam hal ini, mempertimbangkan hak konstitusional warga negara untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi setelah menjalani proses hukum yang diatur.

Permohonan Irman Gusman untuk ikut serta mencalonkan diri sebagai Caleg DPD juga sebagai pemulihan hak konstitusional individu yang telah menjalani proses hukum.

Atas ketidakresponsifan KPU tersebut juga menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi dan kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dalam mengimplementasikan keputusan hukum.

KPU seharusnya menindaklanjuti Putusan PTUN Jakarta, yaitu mencabut Keputusan KPU 1563/2023 dan menerbitkan keputusan tentang penetapan Pemohon masuk dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD. Ketidakpatuhan itu, telah menimbulkan ketidakpastian, menunda keadilan dan menurunkan kewibawaan institusi peradilan.

Adanya kontroversi dalam putusan MK tersebut mengilustrasikan kompleksitas dalam penegakan hukum dan tata kelola demokrasi di Indonesia. Perdebatan semacam ini penting untuk memperkuat sistem hukum yang adil, transparan, dan akuntabel, sehingga dapat menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara dan keadilan hukum secara keseluruhan.

Keputusan MK tersebut juga menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap hukum yang telah ditetapkan, serta peran lembaga-lembaga pengawas dan penyelenggara pemilu dalam mengimplementasikan keputusan hukum dengan transparansi dan integritas. Oleh karena itu, penting untuk menghormati dan mengikuti keputusan hukum yang telah diputuskan secara adil dan transparan demi menjaga kredibilitas lembaga peradilan dan proses demokrasi di Indonesia.

Penting untuk diingat bahwa keputusan MK merupakan hasil dari proses hukum yang melibatkan banyak aspek, termasuk penafsiran terhadap hukum yang berlaku dan fakta-fakta yang diajukan dalam persidangan. Sebagai lembaga peradilan tertinggi dalam hal konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan tersebut dalam rangka menjaga prinsip keadilan dan integritas hukum di Indonesia.

*Penulis merupakan  mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Andalas

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here