Oleh: Dani Navia*)
Dalam buku Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 terbitan Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dijelaskan mengenai istilah contempt of court yang ditemukan pertama kali dalam penjelasan umum UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 yang berbunyi “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court”. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa segala perbuatan atau tingkah laku yang dapat menjatuhkan kewibawaan lembaga peradilan, sikap tersebut dikategorikan sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan. Beberapa sikap penghinaan dalam peradilan diantaranya adalah melakukan penyerangan terhadap integritas pengadilan, merusak sarana dan prasarana pengadilan, menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan, dan perbuatan-perbuatan penghinaan lainnya.
Sejatinya contempt of court juga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari beberapa pasal penghinaan terhadap pengadilan seperti pada Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP. Sejatinya contempt of court memang telah ada dalam peraturan perundang-undangan Indonesia namun belum diatur secara komprehensif. Khususnya yang terdapat dalam KUHP dikategorikan sebagai delik contempt of court tidak diatur secara sistematis karena tidak dicantumkan secara khusus dalam satu bab, akan tetapi berserak-serak dalam beberapa buku dan beberapa bab, dan yang diatur hanya mengenai materi dari contempt of court, sedangkan mengenai hukum acaranya tidak ada diatur. Sedangkan penerapan pasal-pasal dalam KUHP terhadap kasus-kasus contempt of court belum memadai dalam situasi dan kondisi penegakan hukum di Indonesia dewasa ini, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan ditetapkannya suatu undang-undang khusus yang mengatur contempt of court, atau setidak-tidaknya mencantumkannya secara sistematis dalam KUHP nasional yang baru dengan mengkaji berbagai unsur-unsur yang harus dipertimbangkan.
RUU KUHP per-28 Agustus 2018 seyogianya telah mengatur mengenai contempt of court yaitu pada Pasal 281, tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court) diancam dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Adapun tindakan-tindakan yang termasuk dalam delik contempt of court antara lain ditujukan bagi setiap orang yang:
- Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
- Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
- Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.
Pasal ini menjadi kontroversi disebagian kalangan termasuk Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Pasal ini dipandang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat atau pihak-pihak yang mencoba memberikan masukan terhadap kinerja peradilan. Selain itu, Pasal 281 butir (C) akan berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak media yang mempublikasikan proses persidangan. Karena tidak dijelaskan secara jelas bagaimana ukuran dari pemberitaan media yang akan berpengaruh terhadap sikap hakim.
Hal ini tentu saja akan bertentangan dengan prinsip asas peradilan terbuka untuk umum (pasal 153 ayat 3 KUHAP). Prinsip asas ini bertujuan untuk memastikan setiap putusan pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Sifat dari putusan pengadilan adalah untuk masyarakat umum, sehingga apabila pasal 281 KUHP ini tetap dibiarkan, maka sifat pengadilan terbuka untuk masyarakat menjadi hilang.
Dalam prakteknya, delik contempt of court tersebut rentan memicu banyak kasus-kasus yang semestinya tidak perlu masuk ranah pidana. Pasal tersebut akan dengan mudah menyasar akademisi, media, hingga kelompok masyarakat sipil yang berusaha menyuarakan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak sesuai. Padahal, menyuarakan pendapat terhadap tindakan penguasa, dalam hal ini termasuk juga hakim atau pengadilan, dalam dunia demokrasi merupakan hal yang biasa. Hakim yang secara independen mengadili perkara, tidak akan terganggu dengan kritikan yang sekeras apapun disuarakan, kecuali seperti telah disebutkan diatas dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau melawan hukum, yang mana sudah diatur dalam pidana lain dalam undang-undang di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis delik contempt of court dalam draft RKUHP ini harus dihapuskan karena delik ini akan berpotensi menghambat kinerja peradilan yang masih membutuhkan masukan dari masyarakat dan media dalam menilai proses penyelenggaraan peradilan. Selain itu, keberadaan pasal ini berpotensi menjadi pasal karet yang akan mengkriminalisasi masukan-masukan kritis terhadap proses peradilan serta pemberitaan terkait kinerja peradilan.
Menurut saya alangkah baiknya dibuat UU tentang contempt of court karena kita tahu peradilan adalah salah satu instrumen yang menentukan tegaknya suatu keadilan di Indonesia. Jadi harus adanya kepastian hukum yang konkrit dan komprehensif. Artinya perlu ada jaminan keamanan bagi para hakim dipersidangan oleh pihak kepolisian terutama di pengadilan-pengadilan yang berhadapan langsung dengan para pihak dan banyak massa. Disarankan agar peraturan perundang-undangan yang mengatur contempt of court dapat benar-benar efektif dan sesuai dengan iklim penegakan hukum di Indonesia, harus diadakan penelitian yang mendalam dan komprehensif tentang contempt of court oleh pemerintah dengan bekerjasama dengan para akademisi, peradilan Mahkamah Agung, dan lembaga penelitian ilmiah lainnya. Sementara pengaturan yang khusus tentang contempt of court belum disahkan, disarankan juga agar institusi peradilan dan aparat penegak hukum berbenah diri dengan meningkatkan kualitas, dan integritas moral dan taat kode etik profesi. Mahkamah Agung juga dapat mengeluarkan Surat Peraturan (PERMA) yang berisi petunjuk atau pedoman tentang acara persidangan dan penindakan terhadap tindak pidana penyelenggaraan peradilan yang dikenal dengan Contempt Of Court.
*) Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Andalas