Oleh: Lusi Agustia*
Wacana pendidikan militer bagi warga negara saat ini sudah tertuang dalam Rancangan Undang-undang Komponen Tentara Cadangan, sebagaimana disebutkan pewajib militer adalah warga negara yang sudah berusia minimal 18 tahun dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada Oktober tahun lalu, Presiden Joko Widodo menetapkan sebanyak 3.103 orang warga negara menjadi Komponen Cadangan (Komcad). Di dalam laman resmi Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI), dijelaskan bahwa tujuan dibentuknya Komcad ialah demi meningkatkan dan mendukung kekuatan Komponen Utama yang merupakan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dibentuknya Komcad merupakan tindak lanjut dari pembentukan UU PSDN Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
Melihat banyaknya negara yang mewajibkan rakyatnya untuk mengikuti pelaksanaan wajib militer, maka perlukah Indonesia melakukan hal yang sama? Jika mengacu kepada negara-negara seperti Korea, Israel, Rusia, Ukraina, dan beberapa negara lainnya, tampaknya Indonesia belum bisa menerapkan hal serupa kepada rakyatnya. Indonesia tidak memiliki urgensi dan alasan yang kuat mengapa perlu mengadakan wajib militer kepada rakyatnya. Indonesia bukanlah negara yang secara geografis terletak di wilayah yang rawan konflik seperti yang kerap terjadi di wilayah Benua Afrika saat ini serta tidak pernah terlibat menjadi ‘dalang’ dalam perang besar dunia.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki beberapa wilayah yang berbatasan langsung secara darat dengan beberapa negara seperti Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Meskipun sempat terjadi perebutan sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia hingga dibawa ke Pengadilan Internasional (ICJ), hal ini pun masih belum dapat dijadikan bukti alasan perlunya wajib militer di Indonesia. Faktanya, Indonesia memiliki tentara yang jumlahnya cukup banyak untuk membela negara di perbatasan wilayah.
Tahun 2021 merupakan masa yang cukup berat bagi Indonesia dengan lonjakan kasus Covid-19 yang cukup tinggi. Artinya Indonesia memiliki permasalahan yang lebih darurat untuk diselesaikan dibandingkan penetapan Komcad yang fungsinya hanya sebagai ‘cadangan’ militer saja. Mengingat para Komcad ini akan diberi pelatihan militer, sudah pasti akan ada biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini akan menambah beban baru bagi RAPBN di saat negara sendiri masih harus membangun perekonomian ditengah banyaknya hambatan.
Dalam UUD 1945 pasal 30 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Maka dari itu, warga negara secara tertulis memang diwajibkan mengikuti pelaksanaan wajib militer. Namun, dalam Pasal 30 ayat (1) dijelaskan bahwa warga negara memiliki hak dalam membela negara sehingga rakyat diberi kebebasan dalam memilih jalannya sebagai bentuk upaya mereka membela negara. Banyak hal yang bisa dilakukan generasi muda dalam upaya membela negara. Misalnya, memperkenalkan budaya negara hingga ke masyarakat asing hingga terjalin building trust mereka terhadap Indonesia. Selain itu, menaati peraturan dan turut menyemarakkan program pemerintah demi kemajuan negara juga merupakan suatu bentuk bela negara tanpa harus terjun langsung di medan perang. Penentuan pewajib militerpun sebenarnya sudah disebutkan di dalam Pasal 24a UU Nomor 66 Tahun 1958 tentang wajib militer yang menyatakan bahwa untuk menentukan pewajib militer harus diperhitungkan keinginannya yang juga selaras dengan bakat, aspirasi, dan kebiasaan hidupnya.
Oleh karena itu, urgensi penetapan Komcad masih belum terlihat. Bila membicarakan keberagaman di Indonesia yang rentan akan konflik, hal ini tetap saja tidak bisa dijadikan landasan sebab banyaknya nilai sosial masyarakat lokal yang menjunjung tinggi perdamaian. Indonesiapun secara terang-terangan menyatakan bahwa kemerdekaan adalah milik seluruh bangsa dan akan menolak tindakan penjajahan berdasarkan perikemanusiaan dan perikeadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Selain itu, di tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan Konverensi Asia-Afrika (KAA) pertama di Bandung yang membuka jalan terbentuknya Gerakan non-Blok (GnB) sebagai bentuk penentangan terhadap sikap imperialisme, kolonisme, rasisme, dan lainnya.
*) Penulis Merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas