Hampir semua masyarakat di dunia memiliki akun media sosialnya sendiri yang membuat media sosial telah berkembang menjadi suatu hal yang lumrah bagi masyarakat. Media sosial banyak digunakan untuk berbagai macam kebutuhan dan hiburan. Contohnya seperti Instagram yang memberikan layanan visual, TikTok dengan layanan audio visual, serta Twitter dengan layanan dominan teks.
Dalam hal ini, tidak jarang media sosial Twitter yang berbasis teks seringkali digunakan orang-orang sebagai media bagi mereka untuk menyampaikan keluh kesahnya. Di Twitter, orang lain cenderung lebih leluasa dan nyaman menyampaikan hal-hal yang ada di pikirannya, berlindung dibalik anonimitas. Akan tetapi, mengapa sebenarnya orang-orang lebih nyaman untuk mencurahkan perasaannya di media sosial Twitter dari sudut pandang ilmu sosiologi? Mengapa banyak orang yang merasa lebih nyaman untuk mencurahkan perasaannya di media sosial Twitter? Apakah ada dampak yang didapat dari seseorang yang terbiasa mencurahkan perasaannya di media sosial? (Bilqis Zehira Ramadhanti Ishak)
Narasumber: Indah Sari Rahmaini, S.Sos., M.A.
Orang-orang banyak merasa aman ketika ia bercerita dengan orang yang tidak ia kenal. Bisa kita lihat dengan adanya fitur menfess, di mana pengirim bertindak sebagai seorang anonim. Di sana orang bebas untuk menjadi dirinya. Pada dasarnya, ada tiga wajah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Wajah pertama adalah wajah yang kita tampilkan pada masyarakat umum, wajah kedua adalah wajah yang kita tampilkan pada orang terdekat kita, dan yang terakhir adalah wajah yang tidak akan kita perlihatkan pada siapapun dan itu hanya kita sendiri yang bisa melihat. Jadi sebenarnya diri kita sendiri itu adalah wajah yang ketiga ini. Wajah ketiga ini tidak bisa kita tampilkan di media sosial Instagram, tetapi wajah ini bisa ditampilkan di media sosial Twitter. Hal ini terjadi karena kita yang melindungi diri kita dibalik anonim yang membuat kita merasa aman.
Cara orang menggunakan Twitter cenderung untuk lebih memperlihatkan sisi lain yang tidak mereka tunjukkan di media sosial lainnya. Karena hal inilah membuat orang lain juga terdorong untuk memperlihatkan sisi lain dirinya karena merasa ada orang yang sama nasibnya.
Dalam hal ini kita dapat mengkaji dengan teori konflik Lewis A. Coser. Menurutnya penting bagi kita untuk mengeluarkan beban kita sedikit demi sedikit untuk mecegah terjadinya konflik. Ibaratnya jika ada pipa air yang mengalir, tetapi ketika pipa itu tersumbat, bisa saja terjadi masalah pada pipa tersebut bahkan meledak. Kenanonimitas Twitter membuat orang nyaman untuk membagikan perasaan ini membuat orang lain dapat merasa lebih tenang karena mereka sudah mengeluarkan sedikit beban yang ada di hati mereka.
Dari fenomena yang terlihat, Twitter dijadikan sebagai safety field bagi seseorang atau disebut juga sebagai katup penyelamat. Bahkan penggunaan Twitter sebagai tempat sambat atau mengeluh sudah sangat wajar terjadi pada orang modern dan dapat membentuk suatu norma baru.
Intensitas seseorang dalam memanfaatkan media sosial Twitter dalam mencurahkan perasaannya tentu akan berpengaruh bagi kehidupan sosialnya. Bisa saja seseorang bahkan mendapat teman dekat dari media sosial tanpa pernah bertemu dengan orang aslinya. Fitur-fitur dari media sosial yang memudahkan orang untuk berinteraksi membuat orang bisa berkomunikasi dari mana saja.
Segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi media sosial ini tentunya harus kita awasi penggunaannya. Dalam kenyataan yang terjadi, orang yang terlalu berlarut-larut dalam media sosial cenderung dapat merasa terasingkan dari dunia nyatanya. Hal ini dapat membuat seseorang stres dan bahkan depresi. Oleh karena itu perlu bagi kita untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia maya dan dunia nyata agar tidak terjadi ketimpangan di antara keduanya.
*Narasumber merupakan Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas