Oleh : Sonia Helen*
Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika, hal ini menunjukkan betapa kaya dan beragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia dan menunjukkan persatuan dan kesatuan. Banyak orang Indonesia mengabdi kepada negara untuk kemajuan dan kesejahteraan negara. Namun, masih banyak kontroversi antara publik dan pejabat. Belakangan ini terjadi kontroversi di bidang Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya dalam masalah hukum ketenagakerjaan. Pertambahan penduduk di Indonesia tentunya juga meningkatkan kebutuhan hidup bagi semua orang, tentu saja manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Pekerjaan yang dilakukan setiap orang tentu berbeda-beda dan bervariasi, namun bagaimana jika pemerintah benar-benar memberlakukan kebijakan yang bertentangan dengan keinginan kaum buruh itu sendiri, tentunya para buruh tersebut akan memperjuangkan dan mempertahankan usaha yang telah mereka buat sejak lama. Rencana pemerintah tentang pemecatan staf relawan dari instansi pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018, telah menimbulkan keuntungan dan kerugian, dengan batas waktu untuk menyelesaikan tugas relawan staf saat ini hanya dibatasi sampai tahun 2023. Status relawan ini selanjutnya akan dihapuskan dan dibentuk hanya dua jenis pegawai negeri, yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai negeri kontrak (PPPK), disebutkan dalam Pasal 6 UU nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Selanjutnya hal ini menimbang bahwa tenaga honorer telah ada sejak lama, dan bahkan sudah diatur dalam sebuah aturan pemerintah sebagai Legal Standing nya,sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 Tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang tercantum dalam Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi “Pengangkatan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara mulai formasi Tahun anggaran 2005 sampai dengan formasi Tahun anggaran 2012.” Dan pastinya kita juga pernah melihat bahwa ada tenaga honorer yang telah bekerja bertahun tahun kemudian diangkat menjadi PNS.
Oleh sebab itu, kita bisa melihat sejarah panjang terkait tenaga honorer sejak zaman dulu. Namun, kini sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 yang mengatur tentang manajemen PPPK telah menyebutkan bahwa “Pembina Kepegawaian (PPK) dilarang mengangkat pegawai non-PNS dan non-PPPK untuk mengisi jabatan ASN.” Adapun sebelumnya hal ini juga telah diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa “Sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat pembina kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Dapat kita simpulkan dalam hal ini bahwa tenaga honorer tidak dapat diangkat kecuali sesuai dengan syarat yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Namun mengingat bahwa di tahun sebelum-sebelumnya telah ada pengalihan dari tenaga honorer menjadi PNS, tentunya sebagian dari tenaga kerja honorer yang belum diangkat di tahun sebelumnya menjadi PNS tetap berjuang sampai saat ini.
Lalu bagaimana dengan nasib Tenaga honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun untuk nantinya diangkat menjadi CPNS jika pada tahun 2023 pemerintah bener-benar akan menghapus tenaga honorer. Hal ini tentunya menjadi momok yang menakutkan bagi para tenaga honorer, yang mana mereka telah berjuang selama bertahun-tahun namun berakhir sia-sia. Jika pemerintah benar-benar menghapus tenaga honorer di Indonesia maka pemerintah harus memberi solusi yang jelas kepada tenaga honorer yang sejak dahulu dan bahkan yang kini sedang bekerja sebagai honorer, terutama bagi tenaga honorer K2.
Disisi lain, pemerintah akan tetap memberi kesempatan kepada tenaga honorer agar dapat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, hal tersebut hanya diprioritaskan bagi tenaga honorer dibidang guru dan kesehatan. Hal ini tentunya menjadi keresahan dan tanda tanya besar bagi para tenaga honorer terutama tenaga honorer K2 mengenai bagaimana nasib mereka nantinya? Memang benar jika mereka masih diberi kesempatan untuk dapat menjadi PNS ataupun PPPK dengan mengikuti tes atau seleksi, namun tentunya mereka tidak bisa dipersamakan dengan peserta seleksi baru lainnya, hal ini dikarenakan tentunya tenaga honorer yang telah bekerja bertahun-tahun ini lebih memiliki banyak pengalaman.
Selain itu, hal lain yang membuat keresahan bagi tenaga honorer adalah kecemasan akan hilangnya pekerjaan mereka, serta ketakutan bagi mereka jika tidak lulus seleksi tes CPNS bersama peserta baru lainnya. Hal ini tentunya menimbulkan kekecewaan yang mendalam terutama bagi tenaga honorer yang telah bekerja selama bertahun-tahun. Kemudian mereka juga menuntut agar diberikan kesempatan yang sama dan adil seperti tenaga honorer guru dan kesehatan, hal ini dikarenakan di dalam honorer K2 itu sudah termasuk satu kesatuan antara tenaga guru, kesehatan, penyuluhan, dan teknis administrasi. Namun saat ini tenaga guru honorer yang paling diperjuangkan terutama yang telah lulus passing grade agar dapat diluluskan sebagai PPPK tanpa tes, sudah seharusnya hal ini merata bagi golongan honorer K2, namun nyatanya hal ini dinilai kurang merata.
Dilihat dari sejarah pembagian kategori tenaga honorer, untuk tenaga honorer itu sendiri sejak dulu itu telah terbagi menjadi 2 kategori, yakni tenaga honorer kategori 1 (K1) dan tenaga honorer kategori 2 (K2). Sepanjang tahun 2005, telah ada pengalihan tenaga honorer K1 menjadi PNS, namun tenaga honorer K1 yang belum diangkat sejak 2005, kemudian diangkat pada 2013. Sementara untuk honorer K2 yang baru mengikuti seleksi pada tahun 2013 namun belum lulus, itu telah dijanjikan akan diangkat menjadi PNS selama beberapa tahun kedepan. Namun, dengan adanya kebijakan penghapusan tenaga honorer instansi pemerintah ini, tentunya menjadi keresahan terutama bagi tenaga honorer K2, nah karena itu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib tenaga honorer jika kebijakan pemerintah terkait penghapusan tenaga honorer itu benar-benar ditetapkan di tahun 2023.
Meski pemerintah telah memberikan solusi agar para honorer yang tidak lulus atau gagal diangkat menjadi CPNS ataupun PPPK sebelum tahun 2023 akan diganti menjadi tenaga outsourcing, namun hal ini tidak menutup semangat dari para honorer untuk tetap berjuang mempertahankan keinginan mereka sebelum tahun 2023 mendatang. Banyak para tenaga honorer yang masih berharap akan kebijakan pemerintah ini nantinya dapat dipertimbangkan lagi dan diubah. Oleh sebab itu, saya mendukung terkait adanya penyelesaian terhadap tenaga honorer sebelum 2023 dengan cara pengangkatan tenaga honorer sebelum disahkannya terkait penghapusan tenaga honorer instansi pemerintah, terutama tenaga honorer K2, hal ini mengingat perjuangan mereka selama bertahun-tahun untuk nantinya dapat diangkat menjadi CPNS seperti tahun-tahun sebelumnya, dan sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah daerah.
Dengan demikian, sudah selayaknya pemerintah benar-benar mempertimbangkan kebijakan yang akan ditetapkan nanti nya, hal ini dikarenakan pendapat dan persetujuan dari rakyat itu sangat penting, demi berjalannya aturan yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Apakah para tenaga honorer K2 yang telah dijanjikan oleh pemerintah beberapa tahun lalu untuk diangkat menjadi PNS benar-benar akan diangkat? Atau justru karena adanya penghapusan tenaga honorer instansi pemerintah tahun 2023 malah menjadikan janji pemerintah tidak terpenuhi karena tenaga honorer yang akan diangkat sebelum tahun 2023 tidak seluruhnya, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dan bahkan harus mengikuti tes CPNS umum bersama peserta baru lainnya.
*Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas