Oleh: Ahsanuz Zikri*)
Pemilihan Umum Raya Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas (Pemira KM Unand) 2022 sudah di depan mata. Kontestasi tahunan ini selalu digadang-gadangkan sebagai pesta demokrasi Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas. Pemira KM Unand bertujuan menghasilkan penerus tampuk kepemimpinan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) KM Unand sesuai pasal 4 Undang-Undang KM Unand Nomor 01 Tahun 2020. Apakah ajang perhelatan ini masih layak disebut sebagai pesta demokrasi KM Unand?
Perangkat pelaksana Pemira KM Unand ada dua yaitu Badan Pemilihan Umum (BPU) yang membawahi Panitia Pemilihan Umum (PPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang membawahi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). BPU berada di bawah kendali BEM, sementara Bawaslu berada di bawah kendali DPM.
Sejak terjadinya pandemi Covid-19, pelaksanaan Pemira yang biasanya dilakukan secara konvensional dengan mencoblos surat suara diganti dengan sistem pemilu elektronik (e-voting). Hal ini tentu meringankan beban kerja pelaksana Pemira karena tidak perlu menghitung surat suara secara manual yang tidak efisien waktu dan tenaga. Selain itu, hasil Pemira dapat diketahui pada hari itu juga saat jam penutupan pemungutan suara.
Dari pemantauan yang penulis lakukan pada Pemira KM Unand 2020 memang ada inovasi yaitu pelaksanaan kampanye yang dilakukan secara online dan hybrid dengan dua platform yaitu Zoom dan YouTube. Tentu ini tidak mudah karena ini adalah pengalaman perdana bagi pelaksana Pemira mengadakan tahapan rangkaian Pemira dengan daring dan campuran (daring-luring).
Namun, yang patut menjadi perhatian adalah animo pencalonan yang kurang kompeitif. Dari pantauan di laman instagram @pemirakmunand dan @bawaslukmunand, terlihat sejak 2019 hanya ada dua pasang kandidat untuk berlaga memperebutkan kursi Presiden dan Wakil Presiden BEM KM Unand. Tentu saja secara kasat mata ini kurang kompetitif karena duel head-to-head semacam ini rentan terjadi polarisasi kubu seperti yang terjadi di pemilihan umum presiden Indonesia sejak 2014. Ditambah pula adanya insiden pengunduran diri salah seorang kandidat pasangan Capresma-Cawapresma 2019. Ketika itu BPU memutuskan secara otomatis kandidat yang tersisa terpilih sebagai Presma dan Wapresma BEM KM Unand 2019.
Menurut Nanda Fazli, S.H. seorang pemateri dalam Student State College 2020 MPM KM Unand, jika memang hanya satu pasangan Capresma-Cawapresma tersisa seharusnya ditandingkan melawan kotak kosong. Hal inilah yang tidak diakomodir dalam UU Pemira yang terakhir direvisi pada tahun 2020. Tentu saja proses demokrasi tidak berjalan jika pemungutan suara langsung ditiadakan dan langsung mengangkat kandidat tanpa adanya campur tangan langsung pemilih KM Unand. Selain itu, UU Pemira memberikan ruang bagi kandidat untuk mengundurkan diri. Ini ditandai dengan tidak adanya sanksi tegas bagi kandidat yang mundur dari pencalonan setelah resmi ditetapkan sebagai peserta Pemira. Seharusnya ada semacam surat komitmen bermaterai dan/atau sanksi agar menimbulkan efek jera semisal dilarang menduduki jabatan di KM Unand atau dicabut hak pilihnya pada tahun itu. Ini adalah langkah pencegahan agar tidak terulang kembali kejadian pada Pemira 2019. Sementara dari sisi kuantitas kandidat DPM KM Unand, terjadi penurunan yang signifikan. Pada Pemira KM Unand 2019 tercatat 11 kandidat, kemudian pada Pemira 2020 menjadi 8 kandidat, dan pada Pemira 2021 hanya diikuti oleh 4 kandidat Calon DPM.
Persyaratan menjadi peserta Pemira KM Unand tidak begitu sulit. Secara administratif, menurut Pasal 10 UU Pemira KM Unand No. 1 Tahun 2020, calon DPM memerlukan dukungan minimal 20 orang dari daerah pencalonannya dan pasangan Capresma-Cawapresma memerlukan dukungan minimal 150 orang yang dibuktikan dengan tanda tangan dan identitas KM Unand. Menurunnya peserta Pemira KM Unand harus disikapi dengan serius baik oleh BEM maupun oleh DPM karena ini menyangkut regenerasi kepemimpinan politik kampus selanjutnya.
Dari sisi peserta Pemira, menurut pantauan penulis sendiri terjadi ketidakpahaman kandidat mengenai mekanisme dan tata tertib Pemira sehingga setiap tahun ada terjadi pelanggaran yang dilakukan selama masa kampanye. Hal ini merugikan peserta pemira itu sendiri karena mengakibatkan pengurangan jumlah suara sah calon. Ini juga tidak diakomodir dalam UU Pemira. Dalam pelaksanaan pemilu Indonesia, KPU dan Bawaslu RI memberikan sosialisasi mengenai peraturan yang menyangkut Pemilu sehingga ketika terjadi pelanggaran, sudah bisa dilakukan penegakan hukum karena sudah adanya pencegahan yaitu pemberitahuan mekanisme sebelum kampanye dimulai.
Tingkat partisipasi KM Unand dalam Pemira sejak 2019 hingga 2021 terjadi fluktuatif yakni naik turunnya total perolehan jumlah suara. Pada Pemira KM Unand 2019 tercatat 2.631 pemilih memberikan hak suaranya untuk Calon DPM. Sementara pada Pemira 2020 tercatat peningkatan signifikan yaitu total 3.218 pemilih Calon DPM dan 4.476 pemilih Capresma-Cawapresma BEM. Namun, pada Pemira 2021 tercatat total hanya 1.731 pemilih Calon DPM dan 2.826 pemilih Capresma-Cawapresma BEM.
Selain itu, hal krusial lainnya yang selalu menjadi problematika Pemira KM Unand adalah selalu dimasukkannya Negara Tigo Nan Sabaris yaitu Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Fakultas Ilmu Budaya ke dalam daerah pilihan Pemira. Puncaknya pada pemungutan suara Pemira 30 November 2021 lalu terjadi penolakan yang dilakukan Aliansi Negara Mahasiswa Tigo Nan Sabaris yang disampaikan langsung kepada pimpinan MPM KM Unand di Gedung Pusat Kreativitas Mahasiswa (PKM Unand). Dalam Undang-Undang Dasar KM Unand memang secara implisit dalam pasal 2 disebutkan bahwa “Wilayah negara Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas meliputi seluruh wilayah negara bagian Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas.” dan “Negara Bagian adalah pemerintahan mahasiswa seluruh Fakultas yang ada di Universitas Andalas.” Namun secara nyata dan de jure bahwa pemerintahan mahasiswa di Negara Tigo Nan Sabaris yang disahkan dan dilegitimasi oleh Dekanat masing-masing bersifat independen, tidak terikat, dan tidak mengakui KM Unand sehingga mereka mengangkat Presiden sebagai ketua BEM, bukan gubernur seperti BEM fakultas-fakultas di KM Unand.
Hemat penulis memang sebaiknya UU Pemira perlu direvisi agar disesuaikan dengan sistem ketatanegaraan yang banyak dijalankan di tingkat negara yang melaksanakan pemilu sebagai bukti demokrasi. Ada beberapa hal yang belum diatur sehingga rawan menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkepentingan. Ini juga terkait kinerja DPM dan koordinasi dengan BEM dalam menghasilkan dan merevisi produk hukum KM Unand yang perlu senantiasa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang muncul di kemudian hari. Hendaknya Pemira yang digadang-gadang sebagai pesta/alek demokrasi KM Unand ini selalu dapat ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya agar dapat menghasilkan pemimpin yang juga berkualitas.
*)Penulis merupakan Mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2020 Universitas Andalas