Pasang Iklan Disini

Menilik Fenomena Karen’s Diner


(Ilustrator/Fadhilah Lisma Sari)

Padang, gentaandalas.com- Karen’s Diner Jakarta belakangan ini tengah menjadi perbincangan di masyarakat. Karen’s Diner menyajikan konsep yang tidak biasa, yaitu dengan pelayanan yang judes dan kasar kepada pelanggannya. Karen’s Diner sendiri adalah restoran cepat saji asal Australia yang dibuka pada tahun 2021 oleh Aden Levin dan James Farrel. Konsep Karen’s Diner terinspirasi dari lelucon populer masyarakat Amerika Serikat bernama Karen yang menggambarkan seorang wanita paruh baya yang suka komplain dan bersikap kasar. Konsep Karen inilah yang diterapkan pelayan Karen’s Diner kepada pelanggannya.

Konsep Karen’s Dinner dirasa bertolak belakang dengan budaya Indonesia. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung tinggi sikap ramah dan sopan santun. Rumah makan akan dinilai baik jika mengedepankan pelayanan yang ramah dan baik pula. Namun dengan hadirnya restoran ini, tentu menjadi sorotan dan menuai pro kontra di masyarakat. Lalu, bagaimana Antropologi memandang fenomena pelayanan restoran Karen’s Diner? Apa yang seharusnya dilakukan masyarakat ketika bertemu dengan budaya baru? Apakah Karen’s Diner dapat bertahan di Indonesia? (Nabila Annisa)

Narasumber: Jonson Handrian Ginting, M.A. *)

Bagaimana Antropologi memandang fenomena pelayanan Karen’s Diner?

Karen’s Diner pada dasarnya bukan berasal dari Indonesia. Secara Antropoligis, masyarakat barat adalah masyarakat yang eksperimental. Eksperimen tersebut bisa dari banyak hal, contohnya budaya tindik yang ada di barat. Sementara masyarakat Timur termasuk Indonesia cenderung mengambil atau mengikuti budaya barat tersebut dibandingkan menciptakan atau bereksperimen untuk sesuatu yang unik.

Biasanya di rumah makan atau restoran selalu menggunakan konsep dimana pembeli atau pelanggan adalah raja. Masyarakat barat mulai bereksperimen dengan memunculkan konsep pembeli adalah babu. Fenomena ini bisa dilihat dari teori Strukturalisme Levi Strauss. Dalam teori nya menyatakan bahwa selalu ada dua kubu yang saling bertolak belakang satu sama lain atau disebut dengan binary opposition (oposisi biner) yang memandang bahwa perbedaan itu adalah hal mendasar bagi semua bahasa dan pemikiran. Jika ada benar maka ada salah, jika ada raja maka ada babu. Sehingga muncul lah konsep makan dimana pembeli bukan lah raja dengan catatan sudah diberitahukan diawal bahwa konsepnya seperti itu.

Indonesia ini diibaratkan bola salju, jika di Australia bolanya masih kecil maka di Indonesia bisa jadi besar. Masyarakat Indonesia cenderung suka berimprovisasi tetapi tidak suka berekperimental. Indonesia malas memulai sehingga jika ada yang memulai, orang Indonesia bisa memodifikasinya hingga berlebihan, contohnya dalam fenomena ini adalah body shaming. Mereka menganggap mereka adalah raja yang menindas. Meskipun konsepnya memang seperti itu tetapi sebenarnya ada batasan yang tertuang dalam aturan pelayanannya tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada pelanggan. Orang Indonesia berimprovisasi berlebihan terhadap konsep tersebut. Cara menghadapinya yaitu dengan kita harus siap terhadap fenomena ini karena diawal sudah diberi tahu bagaimana konsep pelayanannya. Beberapa orang menganggap konsep itu tidak masalah asal makanannya enak dan tidak dibuang-buang.

Apa yang seharusnya dilakukan masyarakat ketika bertemu dengan budaya baru?

Saat budaya baru atau asing masuk ke lingkungan kita, ada tahap-tahap yang dilaluinya . Tahapan tersebut yaitu sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi. Sosialisasi ketika kita melihat suatu hal yang asing, internalisasi ketika kita mencoba dan memasukkan sesuatu yang asing itu ke dalam diri kita, dan enkulturasi ketika kita butuh sesuatu itu sehingga budaya luar menjadi bagian dari diri kita. Contohnya adalah gadget. Zaman dulu, tidak umum orang menggunakan gadget. Namun, gadget sekarang sudah menjadi hal wajib bagi kita semua. Apabila budaya luar masuk, biasanya mereka mau tidak mau akan melakukan penyesuaian seperti dalam hal pelayanan Karen’s Diner. Jika mau bertahan, kita harus dapat menyesuaikan diri sedikit demi sedikit.

Apakah Karen’s Diner dapat bertahan di Indonesia?

Karen’s Diner ini kontra dengan budaya Indonesia. Restoran ini bisa bertahan lebih lama jika di buka di kota besar yang ada di Indonesia dibandingkan jika di buka di kota kecil. Bagi masyarakat Sumatera Barat sendiri, makan itu adalah momen sacral. Saat makan kita juga ingin ketenangan. Sementara Karen’s Diner dengan pelayanannya yang judes hanya cocok di datangi untuk orang-orang yang ingin merasakan sensasi makan yang berbeda. Hal inilah yang membuat Karen’s Diner mungkin akan bertahan selama beberapa tahun saja tapi tidak dalam jangka waktu yang panjang.

*Narasumber merupakan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas

 

One thought on “Menilik Fenomena Karen’s Diner

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *