Pasang Iklan Disini

Gonjang-Ganjing “Kegentingan yang Memaksa” dalam Perppu Cipta Kerja


 

(Ilustrasi/Fadhilla Lisma Sari)

Oleh: Nia Rahma Dini*

Pada hari Rabu, 21 Maret 2023, DPR secara sah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) menjadi Undang- Undang (UU) Ciptaker dalam Rapat Sidang Paripurna DPR RI. Kendati demikian, hal ini menjadi kontroversial karena adanya Perppu Cipatker yang terkesan tidak mengindahkan perintah dari Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbaiki UU Ciptaker. UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 harus diperbaiki dalam dua tahun kedepan terhitung sejak tanggal 3 November 2021. Lalu muncul pertanyaan, mengapa pemerintah lebih memilih menerbitkan Perppu Ciptaker dibandingkan memperbaiki UU Ciptaker yang berstatus inkonstitusional bersyarat? Apa aspek kegentingan yang memaksa sebagai latar belakang keluarnya Perppu ini?

Perppu merupakan peraturan perundang-undangan setingkat UU yang dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kewenangan Presiden untuk membuat Perppu sejatinya sudah diatur dalam Pasal 22 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang.” Satu hal penting yang membedakan antara Perppu dan UU adalah suatu kondisi “Kegentingan yang memaksa” dalam negara. UUD 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk mengeluarkan suatu regulasi dalam bentuk Perppu demi mengatasi kondisi negara yang dalam “Kegentingan yang memaksa”.

Dalam hal mendefinisikan kegentingan yang memaksa dalam suatu negara merupakan subjektivitas dari Presiden. Suatu kondisi kegentingan yang memaksa tidaklah sama dengan keadaan bahaya pada suatu negara. Artinya tidak hanya berpusat tentang keamanan negara saja, tapi juga dalam aspek ekonomi, sosial, ketertiban umum dan lain-lain. Kendati demikian, untuk menghindari adanya suatu kesewenang-wenangan dari kepala negara dalam mengeluarkan Perppu, definisi kegentingan yang memaksa ini dipersempit dengan adanya Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang pada intinya menyatakan bahwa kegentingan yang memaksa harus memenuhi 3 syarat yaitu: adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan UU, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau undang undang tersebut sudah ada tapi tidak memadai dan kekosongan hukum yang terjadi tidak dapat diatasi dengan membuat undang-undang baru karena membutuhkan waktu yang lama sementara kendala mendesak tersebut membutuhkan kepastian hukum dengan undang-undang.

Jika ditinjau secara sederhana, sebenarnya Perppu Ciptaker ini memenuhi syarat-syarat kegentingan yang memaksa dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. Hal ini terlihat dalam konsideran Perppu Ciptaker, mengenai beberapa kondisi yang dianggap telah memenuhi parameter kegentingan yang memaksa. Kondisi tersebut antara lain adalah untuk meningkatkan serapan tenaga kerja, melindungi usaha mikro dan kecil, dan kenaikan harga pangan serta perubahan dinamika global. Ditambah lagi mengingat akan adanya ancaman krisis ekonomi dan inflasi besar-besaran di Indonesia. Maka kondisi-kondisi tersebut dapat dikategorikan dalam masalah hukum mendesak yang memerlukan pengaturan dalam bentuk UU. Kondisi-kondisi tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan hadirnya UU Ciptaker. Namun semenjak adanya putusan MK yang menyatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, maka implementasi UU ini menjadi terhambat sehingga menimbulkan kekosongan hukum.

UU Cipta Kerja memang masih dinyatakan berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan hingga November 2023. Selagi diuji oleh MK, suatu UU tidak dibenarkan untuk mengeluarkan peraturan pelaksananya. Namun, apalah arti suatu UU tanpa peraturan pelaksana. Suatu UU masih memuat ketentuan-ketentuan umum sehingga memerlukan peraturan perundang-undangan di bawahnya untuk mengimplementasikannya secara maksimal sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.

Meskipun begitu, hal ini seharusnya menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah untuk memperbaiki UU Ciptaker. Namun jika kita tilik lebih dalam, Perppu Ciptaker ini sebenarnya merupakan itikad baik dari pemerintah untuk memperbaiki UU Ciptaker. Prosedur perbaikan UU yang memerlukan tahapan dan waktu lama membuat Pemerintah mengeluarkan suatu solusi cerdas. Ibarat sekali mendayung, dua pulau terlampaui. Dengan adanya Perppu Ciptaker akan menyelesaikan 2 permasalahan sekaligus. Perbaikan yang disyaratkan oleh MK dan terhindar dari ancaman inkonstitusional permanen UU Ciptaker.

Namun di sisi lain, kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa itikad baik tersebut mempunyai maksud terselubung di dalamnya. Perppu Ciptaker yang digadang-gadang sebagai pengisi kekosongan hukum dan pengganti UU Ciptaker merupakan bentuk ketidaksiapan Pemerintah dalam menjalankan amanat MK. Kendati Putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak ada instrumen atau aparat lain yang dapat menjamin dipatuhinya putusan tersebut oleh adresat. Namun hal ini bukan berarti pemerintah bisa menafsirkannnya secara sewenang-wenang. Sebab jika ditilik ke belakang, perbaikan yang disyaratkan MK bukan sekadar perbaikan secara materiil saja tapi juga perbaikan formil. Pergantian materi UU menjadi Perppu justru akan menimbulkan asumsi di masyarakat bahwasannya pemerintah lari dari tanggung jawabnya untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna/meaningful participation dalam pembentukan UU. Sebab, sekalipun suatu Perppu nantinya diuji oleh MK dalam hal formil maupun materiil, pengujiannya tidak akan mempertimbangkan aspek partisipasi publik karena kewenangan pembuatan Perppu merupakan hak prerogatif Presiden.

Terdapat dua alasan pasti pemerintah dalam mengeluarkan Perppu Ciptaker. Alasan tersebut antara lain yaitu Pemerintah beritikad baik untuk melakukan perbaikan pada UU Ciptaker dengan menggantinya menjadi Perpu Ciptaker dan menjalankan hak prerogative untuk mengeluarkan regulasi dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Aspek kegentingan yang memaksa dalam Perpu Cipta Kerja tertuang dalam konsideran mengenai beberapa kondisi yang dianggap telah memenuhi parameter kegentingan yang memaksa serta didukung dengan adanya kekosongan hukum karena UU Ciptaker yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Andalas

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *