Oleh: Resti Rasyid*
Indonesia adalah negara demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi sudah menjadi amanah dari Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan berpendapat yang sejatinya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), tetapi pada realitanya masih jauh dari kata merdeka. Kemerdekaan pers yang tadinya adalah wujud kedaulatan rakyat dan media pers bebas menyiarkan berita dan informasi yang sesuai dengan fakta lapangan. Namun, pada kenyataannya media pers tidak bisa bebas dalam penghimpunan informasi, penulisan berita, menyampaikan berita di lapangan, hingga menyiarkannya.
Pelanggaran kebebasan pers tersebut dapat terlihat dari kejadian penghalangan hingga pengusiran oleh oknum instansi pemerintah terhadap wartawan yang hendak meliput pelantikan Bapak Wakil Wali Kota Padang, Ekos Albar di Auditorium Gubernur Sumbar. Akibat dari pengusiran tersebut, baru-baru ini ratusan jurnalis yang tergabung dalam Koalisi Wartawan Anti Kekerasa (KWAK) menggelar aksi di halaman kantor Gubernur Sumbar pada Rabu (10/5/2023) lalu. Kasus serupa bukan terjadi sekali atau dua kali.
Dilansir dari situs Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada April 2021 digelar aksi unjuk rasa oleh AJI Medan yang mengecam tindakan pengusiran dan pelarangan dua orang jurnalis yang hendak meliput Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Lalu, pada Juli 2022 sejumlah wartawan diusir pejabat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah saat melakukan peliputan live streaming Hari Bhakti Adhyaksa ke-62. Selanjutnya, pada Maret 2023 terdapat aksi intimidasi wartawan di Labuan Bajo oleh oknum TNI karena menulis dan melaporkan berita yang berjudul “Presiden Jokowi Resmikan Jalan di Labuan Bajo yang Dibangun tanpa Ganti Rugi untuk Warga”.
Disamping itu, jurnalis juga menerima perlakuan seperti penganiayaan dan kekerasan ketika menyelidiki kasus-kasus yang sensitif seperti korupsi dan isu-isu lingkungan yang melibatkan pejabat lokal. AJI mencatat sedikitnya terdapat 61 kasus kekerasan yang menimpa 97 jurnalis dan 14 organisasi media sepanjang tahun 2022. Melihat angka yang ada, miris memang dengan kondisi yang sekarang ini. Jurnalis yang hanya bertugas memberikan informasi dan fenomena yang nyata terjadi masih dibatasi ruang geraknya.
Pada tanggal 3 Mei 2023 lalu diperingati Hari Kebebasan Pers sedunia yang mengusung tema “Shaping a Future of Rights: Freedom of expression as a driver for all other human rights” yang berarti “Membentuk Masa Depan Hak: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong untuk semua hak asasi manusia lainnya”. Dilansir dari Narasi News Room, organisasi nirlaba internasional untuk kebebasan pers yaitu Reporters Sans Frontieres (RSF) merilis indeks kebebasan pers dunia. Indonesia berada di peringkat ke-108 dari 180 negara yang disurvei. Posisi Indonesia naik 9 tingkat dari tahun sebelumnya yang berada pada peringkat ke-117 namun masih berada dalam kondisi “sulit”. Indonesia bahkan berada dua peringkat di bawah Thailand yang pemerintahannya dibayangi kekuasaan militer. Dibanding negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia masih jauh tertinggal dari Timor Leste yang berada di peringkat 10 dunia.
Indonesia telah memiliki payung hukum tersendiri terkait kebebasan pers. Pada pasal 4 ayat 1dan 2 dalam UU Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999, telah jelas tertera terkait kebebasan pers bahwa, “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”. Walaupun demikian, kebebasan pers masih dalam angan-angan pekerja jurnalis Indonesia.
Seharusnya dengan adanya ini tidak ada yang dapat menghalangi kegiatan pers, meskipun itu pemerintah sekalipun. Sebab jurnalis punya hak bersuara sebagai warga negara Indonesia sekaligus hak bersuara sebagai bagian dari media pers. Mengingat banyaknya jurnalis yang menjadi korban kekerasan dan penganiayaan, pemerintah sudah seharusnya memberi jaminan keselamatan kepada jurnalis yang menjalankan tugasnya. Sehingga pemberitaan dapat dikatakan dengan sebenar-benarnya tanpa ancaman dari siapa pun. Namun demikian pers bukanlah organisasi tanpa batas, pers tetap akan berjalan lurus sesuai dengan etika jurnalisme.
Penulis merupakan mahasiswi Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas
Artikel yang menarik dan bermanfaat, terima kasih sudah berbagi