Oleh: Abdullah Fahrieza*
Belakangan ini berita mengenai kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi pada pekerja perempuan selalu bermunculan dan ramai diperbincangkan. Hal ini menandakan bahwa pekerja perempuan tidak mendapatkan ruang aman yang cukup. Aliansi Bersama Mengakhiri Diskriminasi, Kekerasan, dan Pelecehan di Dunia Kerja mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah pekerjaan, baik yang terjadi saat di tempat kerja maupun dalam perjalanan kerja beragam bentuk, seperti kekerasan fisik, kekerasan verbal, bullying, pelecehan seksual, kekerasan psikologi dan intimidasi, ancaman, kekerasan ekonomi dan keuangan, dan memata-matai.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), menjelaskan kekerasan dan pelecehan yang terjadi di tempat kerja dapat dilakukan secara horizontal, yakni dilakukan oleh pihak rekan kerja dan secara vertical, yakni dilakukan oleh atasan kepada bawahan, senior yang secara hierarki memiliki power maupun yang dilakukan oleh klien, pasien, penumpang, pelanggan, mitra, vendor, narasumber, dan lain-lain.
Tentu banyak yang bertanya-tanya, mengapa yang menjadi objek kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi kebanyakan perempuan. Hal ini dikarenakan adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah wadah untuk mengurus rumah tangga, perempuan itu lemah, perempuan hanyalah objek kebutuhan seksualitas.
Bahkan, perempuan yang bekerja sering sekali memperoleh tatapan sinis dari orang-orang, apalagi saat pekerja perempuan memiliki kinerja yang baik justru menjadi perbincangan yang dikatakan terlalu ambisius, tidak sadar diri, dan sebagainya. Namun, hal ini bertolak belakang dengan pekerja laki-laki ketika bekerja keras akan mendapatkan apresiasi bahkan naik jabatan. Seolah-olah sudah ada batas pemisah yang jelas antara apa yang pantas dan apa yang tidak dalam dunia kerja antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut terjadi bukan hanya antar perempuan dengan laki-laki, tantangan ini juga harus dihadapi oleh sesama perempuan karena sulitnya perempuan dalam mendapatkan kepercayaan di tempat kerja. Selain itu, perempuan dihadapkan pada situasi kerja yang tidak aman, rawan kekerasan atau terpinggirkan. perempuan juga kerap memandang rendah diri mereka sendiri dan karena itu tidak memiliki bargaining position.
Padahal konstitusi negara menjamin setiap orang mendapatkan pekerjaan yang layak, yang tertuang secara eksplisit pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa seluruh Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Secara implisit Pasal 28 i ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak. Sebagaimana kutipan di atas, konstitusi negara sudah mendalilkan kesetaraan setiap warga negara tanpa sedikit pun memandang gender. Hal ini tentunya menjadi landasan penting bagi kelangsungan perjuangan dan cita-cita R.A. Kartini.
Sebagus apa pun setiap regulasi hukum yang dikeluarkan oleh negara, penerapannya masih nihil dan menjadi sia-sia saja. Inilah kenyataan yang saat ini terjadi di negara kita. Banyak dari masyarakat yang belum teredukasi perihal perbuatan-perbuatan yang dapat dikatakan melakukan pelecehan seksual, masyarakat pada umumnya menganggap bahwa perbuatan pelecehan seksual ketika dilakukan perbuatan persetubuhan. Maka dari itu, banyak yang menganggap hanya menyentuh, cat calling, dan sebagainya bukanlah perbuatan pelecehan. Mereka menganggap bahwa perbuatan seperti itu adalah hal yang biasa saja.
Setiap orang akan berspekulasi mengapa korban kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi tidak melaporkan tindakan-tindakan tersebut. Padahal, berat rasanya sebagai korban melaporkan tindakan yang terjadi, ditambah lagi kurangnya bukti untuk melaporkan tindakan tersebut. Bahkan, setelah korban memberanikan diri untuk melapor, mereka terancam kehilangan pekerjaan dan tak mendapatkan dukungan. Selain beban moril disudutkan dan disalahkan, kaum perempuan juga mengalami beban mental, seperti trauma dan depresi. Kondisi ini diperparah dengan regulasi di dunia kerja yang belum menjamin ruang aman bagi perempuan agar terlepas dari beragam kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi.
Terdapat tiga dasar kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 sebagai berikut: (1) Protektif, Kebijakan perlindungan ini bertujuan untuk melindungi kegiatan reproduksi pekerja perempuan, misalnya dengan memberikan istirahat haid, cuti melahirkan, atau gugur kandung. (2) Korektif, Kebijakan perlindungan ini bertujuan untuk meningkatkan status pekerja perempuan, misalnya dengan melarang pemutusan hubungan kerja bagi pekerja perempuan karena menikah, hamil atau melahirkan. Selain itu, dipastikan bahwa karyawan perempuan diikutsertakan dalam penyusunan peraturan perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama. (3) Non-diskriminasi, Kebijakan perlindungan ini diarahkan pada tidak adanya perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap tenaga kerja perempuan di tempat kerja.
Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi tindak kekerasan dan pelecehan di tempat kerja di antaranya melalui pencegahan dan perlindungan, penanganan dan pengawasan, penegakan hukum dan pemulihan, serta penyusunan panduan dan pelatihan. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut pastinya tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga kerja sama serta sinergi segenap pihak terkait, seperti pekerja, Serikat Pekerja, pengusaha, dan masyarakat. untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan bekerja. Meskipun kesadaran masyarakat sulit terbangun, tetapi kita harus berupaya menciptakan atmosfernya dan menyiapkan bangunannya.
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas