Oleh: Khairun Nisa*
Menjadi seorang mahasiswa merupakan suatu kebanggaan dan sebuah keistimewaan (privilege) bagi sebagian orang. Tidak jarang, kehidupan mahasiswa menjadi masa emas di kehidupannya, sebab dapat memberikan banyak kesempatan untuk mencoba, mendalami, bahkan memimpin dalam skala yang cukup besar. Kehidupan mahasiswa di dunia perkuliahan tidak sebatas belajar di dalam kelas lalu pulang. Seorang mahasiswa dapat memanfaatkan banyak peluang dan kesempatan melalui kegiatan sosial seperti perlombaan, organisasi, dan kegiatan sosial lainnya.
Ada banyak hal dari luar kelas yang dapat memberikan ilmu kepada mahasiswa, salah satunya melalui kegiatan organisasi. Organisasi dalam dunia perkuliahan sangat banyak. Seorang mahasiswa dapat mengikuti kegiatan atau organisasi apapun sebagai wadah mencari ilmu sesuai minat dan bakat. Bila telah mengikuti kegiatan berorganisasi, mahasiswa dapat memanfaatkan berbagai kesempatan untuk melatih soft skill yang ingin dikuasai, manajemen waktu, dan komunikasi.
Dalam berorganisasi, diperlukannya pemimpin dan anggota yang berperan sangat penting untuk menjalankan roda kepengurusan organisasi. Anggota memiliki peran dan tupoksi masing-masing pada suatu kepengurusan. Seiring dengan berjalannya waktu, organisasi membutuhkan regenerasi guna tetap hidupnya suatu organisasi. Meskipun begitu, pada beberapa organisasi mereka yang merupakan pengurus pada periode sebelumnya masih memiliki peran dan menduduki posisi yang berfungsi untuk mengawasi dan konsultasi.
Pada situasi seperti itu, sering kali terjadi fenomena post power syndrome atau sindrom pasca kekuasaan. Post power syndrome merupakan suatu keadaan atau sindrom yang dialami seseorang yang mana belum sepenuhnya menerima berakhirnya masa jabatan atau kekuasaan sehingga pengidapnya tidak dapat berfikir secara jernih dan realistis mengenai keadaan dan kenyataannya yang sudah pensiun. Biasanya pengidap tidak dapat menyesesuaikan diri dengan masa pensiunnya disertai dengan gejala kejiwaan yang kurang stabil. Post power syndrome merupakan salah satu mental issues yang banyak tidak disadari oleh orang-orang. Post power syndrome bergejalakan gangguan perasaan, perilaku somatisasi, mucul keluhan psikososial dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku seperti memberikan kritikan tanpa henti, perasaan curiga, tertekan, merasa tidak diperlakukan secara adil, putus asa yang ditunjukkan dengan berulang kali.
Dilansir dari alodokter.com dan ditinjau oleh dr. Meva Nareza, post power syndrome umumnya dialami oleh seseorang yang sudah pensiun dalam pekerjaan dan dapat juga terjadi dalam organisasi. Dalam kehidupan berorganisasi, hal ini merupakan suatu hal yang biasa dan sudah dinormalisasikan. Nyatanya hal ini merupakan suatu fenomena anomali dan salah satu penyakit mental yang seharusnya dapat dicegah dan ditangani. Dalam kasusnya, biasanya seseorang yang dahulunya memiliki jabatan sebagai ketua organisasi ketika mencapai akhir masa jabatannya, ia tidak bisa menerima keadaaan tersebut. Seseorang tersebut dapat merasakan atau memandang berakhirnya masa jabatan dirinya sebagai suatu penurunan harga diri. Oleh karena itu, hal ini sering kali terjadi pada seseorang yang memiliki jabatan strategis dalam organisasinya dahulu.
Keadaan ini dapat mengakibatkan seseorang mengidap post power syndrome. Namun, beberapa orang yang mengalami ini juga sering kali menolak atau berkilah bahwa dirinya telah mencampuri urusan yang bukan ranah kekuasaan dirinya lagi. Bentuk keikut sertaannya dalam organisasi ini sering kali disalahgunakannya. Seperti halnya dalam kasus seorang ketua organisasi baru ingin melakukan perubahan pada sistem organisasinya, tetapi seorang yang telah demisioner dan tidak menyadari bahwa dirinya mengidap post power syndrome ini selalu mengatasnamakan bahwa dirinya adalah senior yang telah memiliki pengalam terlebih dahulu. Ini merupakan salah satu bentuk kurang stabilnya kejiwaan pengidap sehingga tidak dapat menyesuaikan diri dan disebut sebagai post power syndrome dalam organisasi.
Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi organisasi tersebut dan anggotanya. Seperti halnya bagi perkembangan para anggota baru yang pada awalnya memiliki niat menjadikan organisasi sebagai wadah pengembangan diri. Hal ini akan membuat anggota baru organisasi menjadi semakin terus bergantung kepada demisionernya. Lalu, anggota baru akan seperti kehilangan panggung berproses di dalam berorganisasi.
Jika keadaan tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin suatu organisasi akan kehilangan regenerasi emas dan kenyamanan anggotanya dalam berorganisasi. Untuk itu, sangatlah penting bagi seseorang dalam suatu struktur organisasi menyadari posisinya ketika sudah turun dari jabatannya dan mengetahui solusi dari penyakit mental ini. Adapun beberapa cara mengatasinya yaitu penerimaan diri, mencari kesibukan baru atau mendalami hobi.
*)Penulis merupakan Mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas