Oleh: Zulkifli Ramdhani*
Kondisi perekonomian Indonesia pada saat ini cenderung mengalami pertumbuhan setiap tahunnya. Bahkan, kondisi perekonomian Indonesia menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia. Menurut data rilisan dari International Menotary Fund (IMF) pada 2 November 2022, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia menempati posisi 17 di dunia dengan PDB mencapai US$1,29 triliun. Sedangkan pada tahun 2021, data rilisan IMF menunjukkan PDB Indonesia sebesar US$1,19 triliun. PDB adalah indikator yang mengukur perkembangan ekonomi suatu negara. Melalui data rilisan IMF tersebut, dapat dilihat kondisi perekonomian Indonesia yang mengalami pertumbuhan.
Perkembangan ekonomi Indonesia yang mengalami pertumbuhan tersebut, rata-rata pendapatan penduduk pun meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, tercatat PDB Indonesia mencapai Rp 71 juta per tahun atau sebesar Rp 5,9 juta per bulannya. Sedangkan untuk data 2021, BPS mencatat PDB per kapita Indonesia Rp 62,2 juta per tahun atau Rp 5,18 juta perbulannya. Terlihat dari 2021 ke 2022, adanya kenaikan cukup signifikan dalam rata-rata pendapatan di Indonesia.
Melalui peningkatan PDB Indonesia setiap tahunnya membuktikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pun mengalami peningkatan. Akan tetapi, pada kenyataannya terjadi ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin yang perlu menjadi sorotan lebih. Ketimpangan pendapatan ini pun mendapat sorotan dari Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin, dalam acara 14th Annual Conference Asia-Pasific Tax Forum di Jakarta pada Rabu 3 Mei 2023. Ma’ruf melirik tren ketimpangan pendapatan Indonesia terus meningkat seiring laju liberalisasi ekonomin dan menjadi problem global sejak dekade 1980-an hingga hari ini.
Ketimpangan pendapatan di Indonesia dapat dilihat dari rasio gini. Rasio gini pada rentang yang mendekati 0 artinya tingkat ketimpangan rendah hingga mendekati rentang 1 berarti tingkat ketimpangannya tinggi. Sedangkan, menurut data BPS pada September 2022, rasio gini Indonesia sebesar 0.381 dan mengalami stagnansi atau tanpa perubahan perbandingan dibandingkan September 2021. Rasio gini di perkotaan tercatat 0,402 pada September 2022 yang mana nilai itu naik dibandingkan September 2021 sebesar 0,398 dan rasio gini di pedesaan 0,313 yang turun sedikit sekali dari 0,314 pada September 2022.
Persoalan ketimpangan pendapatan kerap terabaikan karena perekonomian negara secara garis besar yang mengalami peningkatan. Padahal, tingkat ketimpangan pendapatan dapat menunjukkan pemerataan kondisi perekonomia negara. Menurut laporan dari Bank Dunia, pada 2021 kelompok 50% terbawah di Indonesia hanya memiliki total kekayaan 5,46% dari total kekayaan rumah tangga nasional. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan 20 tahun lalu, yakni 5,86% total kekayaan rumah tangga nasional di tahun 2021. Sementara 10% penduduk teratas memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasional yang meningkat dibandingkan tahun 2001 sebesar 57,44%.
Dari data tersebut, peningkatan rata-rata pendapatan penduduk dari tahun ke tahun berarti dipengaruhi oleh peningkatan dari 10% kelompok penduduk teratas. Sedangkan 50% penduduk terbawah bukannya mengalami peningkatan, dibandingkan 20 tahun lalu melainkan mengalami penurunan. Permasalahan ini perlu menjadi fokus bagi setiap orang dan terutama oleh pemerintah. Kebijakan yang dijalankan dan perkembangan ekonomi negara yang terjadi selama ini, ternyata tidak mengalami perkembangan yang sama dari segi tingkat ketimpangannya.
Data tersebut semakin menunjukkan betapa besarnya perbedaan ketimpangan antara kelompok penduduk teratas dengan mayoritas penduduk di Indonesia. Ketimpangan yang ada ini disebabkan oleh banyak faktor terutama terfokusnya pembangunan di kota-kota besar saja sehingga tidak terjadi pemerataan yang baik. Banyak daerah yang tidak memiliki akses dan fasilitas publik yang sama sehingga perkembangan ekonomi dan pekerjaan yang ada tidak se-efisien dan efektif daerah dengan akses dan fasilitas yang baik seperti di kota-kota besar. Hal ini harus segera diatasi dengan baik agar kesenjangan yang ada tidak semakin besar dan tidak menjadi pola lingkaran yang terus berulang.
Selain itu, ketimpangan yang besar dapat menjadi awal adanya kecemburuan sosial, bahkan konflik sosial dan kegaduhan politik nantinya. Sebaiknya dari pemerintah harus ada solusi yang tepat melalui kebijakan distribusi kekayaaan dan mendorong fokus pembangunan dan perkembangan sektor ekonomi pada kalangan kelompok masyarakat bawah dan menengah.
*Penulis merupakan mahasiswa Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisni Universitas Andalas