Oleh: Junivermana Yoga*
Kawasan hutan sebenarnya merupakan tempat yang menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna liar. Hutan memiliki berbagai fungsi yang dapat menyelamatkan bumi dari perubahan iklim, seperti mengatur iklim, fungsinya sebagai paru-paru dunia, menahan pemanasan global, tempat cadangan air bawah tanah, mengatur persediaan air, menjaga kesuburan tanah dan membersihkan tanah yang kotor, dan mengendalikan banjir dan mencegah tanah longsor, tempat manusia mencari obat-obatan dan rempah-rempah dan pelestarian keanekaragaman hayati.
Kawasan hutan tersebut semakin lama akan berkurang akibat kebijakan pemerintah yang seolah mendukung adanya kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan. Legalisasi kebun sawit ilegal justru berdampak buruk bagi hutan sebagai paru-paru dunia. Kebijakan ini turut menuai polemik ditengah-tengah masyarakat. Pada tanggal 23 Juni 2023 Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan Pemerintah terpaksa memutihkan sebanyak 3,3 juta hektar kebun sawit ilegal yang berada dalam kawasan hutan menjadi kebun sawit legal dengan alasan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia. Luhut berharap dengan adanya pemutihan lahan sawit dalam kawasan hutan tersebut para pelaku usaha sawit dapat membayar pajak dan taat hukum setelah terjadi pemutihan.
Dia mengungkapkan, Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebenarnya memuat pasal yang membolehkan lahan sawit ilegal dalam kawasan hutan menjadi legal di hutan ini. Hal ini ditentukan dalam Pasal 110 a dan 111 b. Pasal 110 a UU Ciptaker menyatakan: “Perusahaan yang sudah beroperasi di kawasan hutan tetapi memiliki izin dapat terus beroperasi selama memenuhi semua persyaratan dalam waktu maksimal tiga tahun.” Sementara, Pasal 110 b menyatakan, “Perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif”.
Berdasarkan pasal tersebut, memang diperbolehkan bagi perusahaan sawit yang terlanjur beroperasi di kawasan hutan asal membayar denda administratif, denda administratif tidak sebanding dengan kerusakan hutan. Sawit bukan termasuk tanaman Hutan, hal itu tertuang dalam Dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK.23/2021 Sawit juga tidak masuk sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
Pemutihan lahan sawit ilegal sekitar 3,3 juta hektar, apabila kita cocokan sebuah negara kecil, seperti Singapura. Luasnya sekitar 45 Kali Wilayah Singapura. Tentu sangat luas sekali lahan yang diputihkan tersebut. Rencana pemutihan lahan sawit bertolak belakang dengan apa yang disampaikan beberapa bulan lalu oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menegaskan bahwa tidak ada pemutihan ataupun pengampunan bagi kepemilikan sawit dalam kawasan hutan.
Data dari Greenpeace menunjukkan ada sekitar 600 Perusahan sawit memiliki kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan selama periode 2001-2019. Ada sekitar 25 besar grup perusahaan yang bersertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memiliki kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. RSPO adalah Mempromosikan pengembangan dan penggunaan produk minyak sawit berkelanjutan melalui penerapan standar global yang andal dan manajemen multi-stakeholder.
Rencana pemutihan tersebut dapat mengancam kehidupan satwa liar ke depan, satwa liar yang biasanya hidup dalam kawasan hutan akan tersingkir akibat perluasan kebun sawit secara illegal. Ruang hidup satwa liar terbatas dan makanan terbatas membuat sering kali satwa liar masuk ke kebun masyarakat dan kebun sawit milik perusahaan.
Data yang baru ditemukan 3,3 juta hektar, belum tentu semua sudah terdata dan bahkan diduga lebih dari itu. Rencana pemutihan tersebut mendorong terjadi pemutihan lagi dan lagi terhadap kawasan hutan menjadi kebun sawit. Dampak dari semakin luas kebun sawit dan semakin berkurangnya kawasan hutan ialah memperburuk krisis iklim, dengan berkurangnya lahan hutan yang dikonversi menjadi kebun sawit maka akan semakin banyak karbon yang terlepas ke udara dan mengurangi daya serap terhadap karbon yang dihasilkan, ini akan memperburuk krisis iklim yang berarti menyebabkan ancaman bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan.
Sungguh ironi sekali bukan, hutan sejatinya sebagai paru-paru dunia bahkan Indonesia sendiri dijuluki paru-paru dunia lama-kelamaan julukan tersebut hilang karena tindakan pemerintah yang tunduk pada pengusaha dan tidak tegas terhadap pengusaha besar yang sering melanggar hukum di Indonesia.
Pemerintah seharusnya lebih tegas lagi terhadap pelaku usaha kelapa sawit untuk taat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Pemerintah jangan hanya berharap pelaku usaha agar bayar pajak setelah pemutihan terjadi. Pemerintah harus membuat regulasi yang tegas terhadap para pelaku usaha sawit.
Dalam G20 Pun, Pemerintah telah berkomitmen sangat tinggi dalam mengatasi perubahan iklim. Jangan sampai komitmen tersebut tidak dilaksanakan dan jangan sampai hanya menjadi seremonial yang mengatakan pemerintah mendukung untuk mengatasi perubahan iklim. Jangan sampai komitmen yang telah ditandatangani bersama-sama hanya sebagai tulisan tak berarti.
*)Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Andalas
Editor: Bilqis Zehira Ramadhanti Ishak