Oleh : *Haura Hamidah
Lapangan pekerjaan di Indonesia tersedia dari berbagai kategori dengan kualifikasi yang dimilikinya. Mulai dari persyaratan tamatan SD hingga tamatan kuliah pun tersedia tanpa batas. Selain mencari pekerjaan, membuka usaha yang sesuai dengan kemampuan dapat menjadi alternatif dalam memenuhi roda perekonomian kehidupan. Namun, ada pula pilihan miris dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari tersebut adalah dengan menjadi pengemis. Terlebih lagi memanfaatkan anggota keluarga yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas untuk menjadi pengemis tersebut.
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan masyarakat lainnya di mata hukum Indonesia. Merujuk pada UU Nomor 39 Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia telah mengatur terkait penyandang disabilitas tersebut. Dalam UU tersebut, penyandang disabilitas berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih. Secara umum, hak penyandang disabilitas yang telah diatur oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tersebut adalah mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus. Kemudian mendapatkan perawatan, pendidikan, pelatihan, bantuan khusus atas biaya negara, terkhusus bagi masyarakat yang tidak mampu. Tidak hanya itu, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas telah diatur akan hak yang diperoleh.
Adanya aturan secara hukum di Indonesia akan hak penyandang disabilitas, menggambarkan pentingnya memperoleh HAM tersebut bagi mereka. Namun, pada kenyataannya, penyandang disabilitas kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi. Adanya beberapa oknum yang memperalat mereka sebagai alat penghasil uang berjalan. Oknum tersebut umumnya berupa anggota keluarga penyandang disabilitas maupun seorang preman yang memperalat penyandang disabilitas. Hal tersebut agaknya telah melukai sifat kemanusiaan yang dimiliki.
Fasilitas penunjang penyandang disabilitas dalam mendapatkan hak mereka pun terbatas. Kemerdekaan bagi penyandang disabilitasi pun tidak efektif terlaksana. Sehingga, dengan segala keterpaksaan yang dimiliki, mereka penyandang disabilitas menjadi pengemis. Hari Sabtu tanggal 29 Juli 2023, penulis melihat adanya pengemis disabilitas di pasar kaget Jalan Pinang Merah, Pekanbaru. Kondisi pengemis disabilitas tersebut cukup menyedihkan. Pengemis tersebut mengalami tangan sebelah dan kakinya buntung serta kesulitan dalam berbicara. Melihat kondisi pengemis disabilitas tersebut, siapa pun akan merasa iba dan memberikan sedekah kepada pengemis tersebut.
Harus diakui, fasilitas penunjang kehidupan yang layak bagi penyandang disabilitas di Indonesia sangat minim. Fasilitas kesehatan, pendidikan, dan memperoleh pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas di Indonesia sangat terbatas. Tidak hanya fasilitas, pemahaman dan kesiapan masyarakat Indonesia perihal berinteraksi dengan penyandang disabilitas pun terbatas. Sering tanpa disadari, masyarakat Indonesia juga kerap memberikan perlakuan diskriminasi kepada penyandang disabilitas. Seperti guiding block yang kerap digunakan oleh pengendara sepeda motor maupun pedagang kaki lima. Padahal, guiding block adalah fasilitas bagi penyandang disabilitas netra yang disediakan oleh pemerintah.
Pengemis di Indonesia harus diatasi secara penuh dan efektif, termasuk pengemis disabilitas. Hak mereka sebagai manusia dan warga negara harus segera dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah dapat mengadakan pelatihan kerja terkhusus bagi penyandang disabilitas atau menyediakan pelatihan khusus bagi penyandang disabilitas dalam mengembangkan minat dan bakatnya. Tidak ada manusia di dunia yang terlahir tanpa kelebihan dan kekurangan, termasuk penyadang disabilitas.
Melihat banyaknya hak penyandang disabilitas yang tidak terpenuhi ini sudah seharusnya menjadi perhatian. Merujuk dari Tempo, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri, Achsanul Habib menyebutkan adanya tiga tantangan utama dalam penyediaan dan memajukan hak penyandang disabilitas. Pertama hambatan sosial budaya, kedua hambatan fisik dan geografis dalam memberikan pelayanan, dan ketiga ketidaktersediaan data tunggal yang komprehensif dan terpilah tentang penyandang disabilitas.
Faktor hambatan pertama berupa sosial budaya terhadap penyandang disabilitas. Faktor ini mempengaruhi pola pikir masyarakat akan penyandang disabilitas. Kemudian, faktor pola poikir tersebut dapt berkembang menjadi stigma yang berkembang dan mengakar di masyarakat. anggapan mereka, penyandang disabilitas adalah orang-orang yang perlu dikasihani karena keterbatasannya. Akibatnya, pendiskriminasian pun telah lama terjadi. Hal tersebut perlu dirubah. Tentunya sulit untuk mengubah pola pikir masyarakat yang telah ada sejak lama tersebut. Sehingga, tidak mudah untuk mengatasinya dalam waktu singkat.
Pola pikir masyarakat akan penyandang disabilitas perlu dirubah secara perlahan-lahan. Oleh sebab itu, perubahan tersebut dapat dimulai dari diri sendiri. Penyandang disabilitas perlu dibiasakan kehidupan mandiri, agar tidak terus menerus dikasihani dari pola pikir masyarakat. Untuk dapat melaksanakannya, diperlukannya peran pemerintah dalam menyediakan aksesbilitas yang memadai. Aksesbilitas adalah kemudahan yang dapat disediakan bagi penyandang disabilitas untuk mewujudkan hak mereka secara utuh. Sehingga, secara perlahan pengemis disabilitas dapat teratasi. Pemerintah pun perlu menjamin aksesbilitas dan fasilitas yang disediakannya dapat terdistribusi ke semua daerah Indonesia, bahkan daerah terpencil.
Selain peran pemerintah, peran masyarakat sebagai orang terdekat dari penyandang disabilitas pun diperlukan. Anggota keluarga penyandang disabilitas dapat membantu kehidupan mandiri bagi mereka penyandang disabilitas. Kehidupan mandiri tersebut bukan berarti menjadi pengemis di jalanan, melainkan pemberian fasilitas kesehatan dan pendidikan secara bebas bagi mereka penyandang disabilitas. Akan tetapi, tidak semua masyarakat Indonesia dalam keadaan mampu secara ekonomi untuk mewujudkan hak tersebut. Peran pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan, meratanya perekonomian masyarakat dapat menjadi salah satu jawaban bagi mereka penyandang disabilitas dalam memnuhi perekonomian kehidupan.
Penulis merupakan Mahasiswa Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas*