Oleh: Aprila Aurahmi*
Konflik Israel-Palestina adalah konflik militer dan politik yang telah berlangsung sejak abad ke-19 hingga abad ke-21. Konflik ini kembali mencapai puncaknya pada (7/11/2023) lalu, ketegangan yang telah berlangsung lama dengan ribuan korban jiwa. Dampaknya meluas ke media internasional, yang banyak membahas hak sejarah, keamanan, dan HAM di Palestina. Konflik juga mempengaruhi pariwisata dengan pembatasan akses ke wilayah yang diperebutkan. Namun, ada sikap publik yang berbeda dari konflik yang terjadi kali ini.
Jika dahulu lebih banyak yang condong dalam mendukung kebebasan Palestina, anehnya sekarang tidak begitu lagi. Hal itu karena adanya yang mengambil untuk bersikap netral. Sikap netral yaitu tindakan yang tidak memihak ke Palestina ataupun Israel. Pada dasarnya, sikap netral yang diserukan sejatinya tetap saja berpihak. Berpihak kepada ruang kosong yang memilih bungkam terhadap serangan yang membunuh wanita, anak-anak hingga bayi yang menjadi korban dari keganasan konflik. Dilansir dari cnbc.com setidaknya Korban tewas akibat konflik di Gaza, Palestina telah melebihi 15.000 orang. Dari laporan Kantor media pemerintah, 9.000 di antaranya adalah anak-anak dan wanita.
Ada dua kesalahan mendasar yang menjadikan bersikap netral tidaklah cocok diambil dalam hal ini. Dua kesalahan dari bersikap netral yaitu pertama, dukungan yang tidak sebanding dari negara internasional menyebabkan Israel dengan mudah meluluhlantahkan Palestina. Berbagai negara di dunia yang merupakan sekutu Israel, mengucurkan pinjaman atau utang sebesar USD 7,8 miliar atau hampir Rp 121 triliun, untuk mendanai perang di Gaza, Palestina. Sikap netral berarti menolak menjadi mediator sebagai syarat penting menciptakan perdamaian di dunia internasional.
Kedua, bersikap netral berarti abai terhadap genosida yang terjadi di Gaza, Palestina. Dapat dilihat dari korban terkini sebanyak 15.000 jiwa. Serangan Israel ke Gaza menewaskan ribuan warga sipil, bahkan perempuan, lansia, dan balita. Fasilitas publik berupa ambulans, sekolah, rumah sakit, dan tempat pengungsian pun turut dibombardir oleh Israel.
Sikap netral berarti membiarkan penderitaan tersebut merajalela, mendukung terjadinya pelanggaran terhadap HAM. Selain itu, tidak mengambil keputusan bersikap netral merupakan hal yang tepat sebab Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menuturkan, pemerintah Indonesia mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk mencapai kemerdekaan. Hal ini ia sampaikan dalam Aksi Akbar Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina yang digelar di Lapangan Monas, Jakarta (5/11/2023).
Hal ini tidak lagi pantas disebut konflik perang melainkan sebuah genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Bisa dilihat dari serangan Israel yang melanggar aturan dasar hukum perang berupa tindakan militer menyerang warga sipil, tenaga medis termasuk rumah sakit dan pusat kesehatan turunannya, bangunan dengan perhatian khusus, korban perang, desa maupun kota, tawanan perang, serta benda cagar budaya.
Dampak dari sikap netral yang diambil tidaklah main-main. Pihak yang menyerukan netral sejatinya bungkam terhadap genosida yang terjadi, tidak peduli dan tutup mata terhadap pembantaian kemanusiaan.
Sudah sepatutnya kita sebagai manusia menyuarakan lantang untuk pro Palestina, bukan karena sesama muslim atau faktor lain. Tapi, atas nama kemanusiaan yang tidak sepatutnya membiarkan sesama manusia menjajah, menghabiskan nyawa dan melakukan pembantaian besar-besaran.
Penulis merupakan mahasiswa Departmen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya*