Oleh: Asyani Rahayu Simatupang*
Kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi ia adalah cerminan ketidakadilan gender yang telah berlangsung lama. Ketika kemiskinan “berwajah perempuan,” hal ini menggarisbawahi kenyataan bahwa perempuan adalah kelompok paling rentan dalam lingkaran kemiskinan. Mereka terjebak dalam situasi ekonomi yang lemah dan minim akses terhadap sumber daya yang layak. Fenomena ini dikenal sebagai feminisasi kemiskinan, yaitu kondisi di mana perempuan secara proporsional lebih rentan menjadi korban kemiskinan dibandingkan laki-laki. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, feminisasi kemiskinan kian nyata dengan data yang menunjukkan bahwa perempuan menghadapi lebih banyak hambatan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi.
Secara global, ketidakadilan ekonomi yang dialami perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Laporan UN Women tahun 2020 mencatat bahwa hampir 60% perempuan di dunia bekerja di sektor informal tanpa perlindungan. Diperkirakan 73,5% perempuan dalam pekerjaan upahan tidak memiliki akses perlindungan sosial, membuat mereka kehilangan hak ketenagakerjaan dan jaminan hukum. Di wilayah berkembang seperti Asia Selatan dan Sub-Sahara Afrika, ketergantungan perempuan pada pekerjaan informal bahkan mencapai 70% atau lebih, membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan ekonomi seperti pandemi atau resesi yang kerap memicu kemiskinan ekstrem.
Di Indonesia, feminisasi kemiskinan menjadi tantangan yang serius. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan hanya mencapai 61,29%, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 84,49%. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal tanpa jaminan sosial, ditambah lagi adanya kesenjangan upah sebesar 23% antara laki-laki dan perempuan, meski beban kerja dan kompetensi serupa.
Penyebab utama feminisasi kemiskinan adalah ketidaksetaraan akses pendidikan dan pelatihan yang menghambat kesempatan kerja bagi perempuan. Di banyak negara berkembang, perempuan menghadapi hambatan besar untuk menyelesaikan pendidikan. Menurut UNICEF, ada sekitar 119 juta anak perempuan yang tidak bersekolah di dunia. Di wilayah konflik, anak perempuan dua kali lebih mungkin tidak bersekolah dibandingkan anak perempuan di negara yang aman. Perkawinan dini dan beban tanggung jawab domestik memperparah masalah ini, sehingga perempuan tanpa pendidikan memadai cenderung sulit mendapatkan pekerjaan layak, terjebak dalam siklus kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.
Selain pendidikan, norma sosial yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga turut memperkuat feminisasi kemiskinan. Di berbagai budaya, perempuan sering dianggap bertanggung jawab penuh atas urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan 2,6 kali lebih banyak waktu untuk pekerjaan domestik tak berbayar dibandingkan laki-laki. Kondisi ini mengurangi peluang perempuan untuk berkarir atau mencari pekerjaan yang produktif.
Faktor lain yang memperburuk feminisasi kemiskinan adalah terbatasnya akses perempuan terhadap kepemilikan aset dan hak ekonomi. Di banyak negara, hukum atau norma adat menghalangi perempuan untuk memiliki tanah atau properti yang bisa menjadi modal penting untuk keluar dari kemiskinan. Di Indonesia, meski tidak ada hambatan hukum, banyak perempuan yang tidak memiliki tanah karena aturan waris atau norma budaya yang masih bias gender.
Data UN Women dalam “Facts and Figures: Economic Empowerment” menyatakan bahwa petani perempuan secara global memiliki akses, kontrol, dan kepemilikan terhadap lahan serta aset produktif lainnya yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sebagai contoh, hanya kurang dari 15% pemilik lahan pertanian di dunia yang adalah perempuan. Mengurangi kesenjangan gender dalam produktivitas sektor pertanian dan upah di sistem agrifood berpotensi meningkatkan PDB global hingga 1% atau hampir USD 1 triliun.
Pandemi COVID-19 memperparah feminisasi kemiskinan di berbagai negara, termasuk Indonesia. UNDP melaporkan bahwa pandemi menurunkan partisipasi tenaga kerja perempuan di seluruh dunia, terutama di sektor informal. Di Indonesia, UN Women menyebutkan bahwa COVID-19 berpotensi mengancam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan bagi perempuan dan anak perempuan. Perempuan yang bergantung pada pendapatan usaha keluarga mengalami penurunan pendapatan hingga 82%. Survei BPS menunjukkan perempuan lebih rentan terkena PHK selama pandemi, terutama mereka yang bekerja di sektor paling terdampak, seperti pariwisata, perdagangan kecil, dan layanan.
Mengatasi feminisasi kemiskinan memerlukan pendekatan komprehensif dan multisektoral. Di tingkat global, pemerintah dan lembaga internasional seperti PBB dan Bank Dunia telah memulai berbagai program pemberdayaan perempuan melalui pelatihan keterampilan dan akses keuangan. Di Indonesia, program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi perempuan membantu membuka akses pembiayaan bagi mereka yang ingin memulai usaha. Namun, ini baru langkah awal; perubahan struktural dalam kebijakan dan sistem pendidikan sangat diperlukan untuk memberdayakan perempuan secara efektif.
Feminisasi kemiskinan bukan masalah yang bisa diatasi hanya dengan pemberdayaan ekonomi. Diperlukan reformasi kebijakan yang mencakup kesetaraan dalam pendidikan, penghapusan norma-norma gender yang menekan perempuan, serta perlindungan hak ekonomi perempuan. Pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan sosial seperti pendidikan gender sejak dini dan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal.
Fenomena feminisasi kemiskinan adalah persoalan kompleks yang memerlukan komitmen kolektif. Ketidaksetaraan ekonomi berbasis gender bukan hanya persoalan perempuan, tetapi juga ancaman bagi kesejahteraan ekonomi yang berkelanjutan bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan reformasi kebijakan, perubahan sosial, dan dukungan kolektif, perempuan dapat memiliki akses yang setara untuk mencapai kesejahteraan dan membebaskan diri dari belenggu kemiskinan.
Editor: Fadhilatul Husni
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik