
Oleh: Alya Antasya
Jumbo adalah sebuah film animasi karya sutradara Ryan Adriandhy yang melibatkan banyak animator berbakat Indonesia. Film ini mengangkat isu yang sangat relevan tentang perundungan, kepercayaan diri, persahabatan, dan kekuatan imajinasi anak-anak. Sebuah kisah yang tidak hanya menyentuh, tapi juga membawa kita kembali ke masa kecil, ke tempat di mana keberanian untuk menjadi diri sendiri seringkali diuji.
Cerita ini berpusat pada Don, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang memiliki tubuh gemuk dan kerap menjadi sasaran ejekan. Julukan “Jumbo” yang diberikan teman-temannya, alih-alih menjadi sapaan akrab, justru menjadi luka yang perlahan meruntuhkan rasa percaya dirinya.
Hingga suatu hari, Don menemukan sebuah buku dongeng peninggalan orang tuanya yang telah lama tiada. Buku ini menjadi satu-satunya peninggalan berharga dan penghibur di tengah kesepiannya. Ia sering membacakan isi buku itu di depan teman-temannya, namun sayang, mereka mulai bosan dan mengejeknya. Don pun memendam sebuah ambisi: mementaskan pertunjukan sandiwara di acara unjuk bakat desa, terinspirasi dari buku kesayangannya berjudul Pulau Gelembung.
Konflik muncul ketika Atta, seorang perundung yang penuh amarah, mencuri buku tersebut. Don terpuruk. Di tengah keputusasaan itu, muncullah Meri, seorang peri kecil dari dunia gaib yang mengajak Don berpetualang untuk mencari orang tuanya. Dari situlah perjalanan Don dan Meri dimulai — petualangan yang penuh tantangan, pelajaran tentang arti keberanian, persahabatan, dan menemukan kembali kepercayaan diri.
Film ini memiliki banyak keunggulan. Visual animasinya memukau, dengan warna-warna pastel yang lembut dan latar belakang yang digarap penuh detail, baik dunia nyata maupun dunia fantasi. Karakter-karakternya hidup dan ekspresif, tidak kalah dari film-film animasi produksi studio-studio besar dunia.
Pengisian suara pun sangat kuat dan emosional. Karakter Don yang pemalu, Meri yang ceria, serta kehangatan suara orang tua Don yang diisi oleh Bunga Citra Lestari dan Ariel Noah, memberikan nuansa nostalgia yang dalam. Ditambah lagi dengan musik latar yang menyentuh, terutama lagu yang dibawakan Don di atas panggung, yang mampu mengguncang emosi penonton.
Meski begitu, film ini juga memiliki kekurangan. Alur cerita yang berjalan lambat di awal membuat beberapa penonton kehilangan fokus. Karakter Atta sebagai perundung juga kurang mendapatkan pengembangan yang memadai. Padahal, menggali lebih dalam latar belakang Atta bisa membuat pesan film ini lebih kompleks dan berlapis.
Secara keseluruhan, Jumbo adalah film yang layak diapresiasi. Ini bukan sekadar tontonan, tapi sebuah perayaan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Bagi penonton dewasa, film ini menghadirkan nostalgia, sekaligus pengingat pentingnya empati. Film ini membuktikan bahwa animasi Indonesia mampu bersaing di panggung dunia, dengan kualitas visual memukau, cerita yang menyentuh, dan pesan moral yang kuat.
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Discussion about this post