Universitas Andalas adalah salah satu perguruan tinggi negeri berlokasi di Sumatera Barat memiliki mahasiswa yang heterogen. Heterogenitas mahasiswa menyebabkan mereka memiliki cara pandang dan kultur yang berbeda. Tidak menutup kemungkinan culture shock dialami oleh hampir seluruh pendatang yang tidak terbiasa dengan budaya baru yang mereka hadapi.
Akulturasi budaya terjadi dan menjadi gaya hidup atau kultur baru. Mahasiswa mungkin secara tidak sadar sudah mengadopsi budaya Minang dalam kehidupan sehari-harinya seperti gaya berbicara, dialek, dan masih banyak lagi. Lalu apa itu akulturasi? Bagimana cara menyesuaikan diri dan mengatasi culture shock? dan Bagaimana dengan pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”? (Elvi Rahmawani dan Dian Mardhiyyah).
Narasumber: Drs.Rinaldi Eka Putra M.si
Jawaban :
Akulturasi merupakan pengaruh dari dua atau lebih perbedaan. Ini adalah masalah kebiasaan, jika rutin dilakukan maka akan menjadi hal yang biasa. Dalam hidup, pemikiran itu harus global karena gudang permasalahan itu sebenarnya ada di pemikiran kita. Apa yang kita cari, maka itu yang ditemukan. Semuanya bergantung pada mindset masing-masing.
Cara menyesuaikan diri dan mengatasi culture shock
Kondisi menyesuaikan budaya sebenarnya bukanlah hal yang tidak biasa. Kuncinya adalah dimanapun kita berada, baik itu dalam kepentingan menuntut ilmu, maupun hal lainnya, berinteraksi adalah suatu hal yang lumrah.
Cara utama yang perlu dilakukan dalam menyesuaikan diri adalah saling menghargai, memahami kepentingan masing-masing dan menyadari perbedaan. Cara kedua adalah mesti berperan seperti peselancar, apapun medannya harus bertahan dalam artian mengerti konidisi sekitar, tidak bisa memaksakan perbedaan menjadi sama.
Namun, jika sudah membuat pilihan yang berbeda adalah lawan dan sama adalah teman maka lingkup pergaulan cenderung kecil.
Sesuatu yang baru itu secara sosiologis semua orang akan mengalami resistensi yakni penolakan. Ketika fase resistensi sudah berjalan dalam waktunya, orang mulai beradaptasi menerima perbedaan dan kemudian terbiasa.
Setelah fase adaptasi berlangsung maka tibalah di fase kebiasaan baru yang mana sudah memahami kepribadian masing-masing. Kegelapan yang selama ini dibenci sebenarnya memiliki peran penting, yakni tidak akan ada cahaya jika tidak ada kegelapan karena Tuhan selalu menciptakan arah yang berbeda namun memiliki berkah.
Pepatah “Di mana bumi dipijak, Di situ langit dijunjung”
Pribahasa ini menjelaskan bahwa di belahan bumi manapun kita berada selama masih menaati peraturan yang ada, baik yang bersifat ideologi, kearifan lokal, tatanan adat, maka akan aman hidup di sana.
Penolakan-penolakanlah sebenarnya yang membuat kita merasa lelah, buat apa mengumpat malam setiap hari, sedangkan malam akan selalu datang dan begitu saja, sama juga dengan tukang sapu yang membenci debu, tidak ada gunanya. Semuanya sudah di atur, baik dalam kitab suci, undang-undang maupun pancasila. Jadikanlah orang-orang sebagai saudara. Kemanapun kaki melangkah, maka kamu akan memiliki saudara.
Bagi mahasiswa yang berasal dari luar Sumatra Barat, selama masih di Indonesia, tidak banyak perbedaan. Yang penting jangan terlalu menonjolkan eksklusifitas. Hal yang memicu keributan atau pertikaian adalah memaksakan orang lain sesuai dengan yang kita inginkan. Perbedaan tidak masalah, masing-masing orang punya hak. Gudang masalah ada di pikiran kita sendiri, sebaiknya bersahabat dengan perbedaan dan ketidaksukaan.
*) Drs.Rinaldi Eka Putra M.si merupakan Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas