Indonesia merupakan negara multikulturalisme, keberagaman budaya, bahasa, etnis dan lainnya kerap ditemui di Indonesia. Setiap budaya daerah memiliki bahasanya sendiri sehingga bahasa indonesia hadir sebagai perwujudan bahasa persatuan yang sangat penting bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahasa dengan kedinamisannya akan berkembang sejalan dengan pengaruh perkembangan zaman. Disamping bahasa Nasional dan bahasa daerah kerap muncul pula bahasa gaul termasuk pula adanya pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah itu sendiri di masyarakat. Salah satu contohnya adalah pencampuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Minang atau akrab disebut Bahasa Indomi (Indonesia-Minang). Penggunaan Bahasa Indomi ini dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang terus mengalami perkembangan. Kebhinekaan masyarakat di Sumatra Barat juga menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya fenomena Bahasa Indomi. Namun, apakah sejatinya Bahasa Indomi dapat digunakan kapan saja dan dimana saja? Bagaimana fenomena pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam kehidupan sosial? bagaimana sebenarnya berbahasa yang baik dan benar itu? Apa yang dapat dilakukan generasi muda dalam melestarikan bahasa nasioal dan daerah? (Dian Mardhiyyah dan Elvi Rahmawani).
Narasumber: Sonezza Ladyanna, S.S.,M.A
Jawaban:
Pada umumnya sifat dasar bahasa itu ialah dinamis dan arbitrer. Dikatakan bahasa dinamis karena bahasa akan mengikuti perkembangan zaman sesuai situasi dan kondisi masyarakat. Selanjutnya, bahasa bersifat arbitrer dimana setiap penutur bebas menggunakan bahasa itu sendiri. Walaupun bebas, penutur harus dapat menentukan dimana menggunakan bahasa yang tepat.
Fenomena pencampuran Bahasa Indonesia dan bahasa daerah sendiri, sebenarnya bukan hal yang tidak biasa karena termasuk kepada bentuk dinamika bahasa yang ada di masyarakat. Hal yang menjadi penyebab adanya gejala dinamika bahasa terutama pencampuran bahasa Indonesia dan daerah ialah lingkungan sosial. Cara seorang penutur berbahasa dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, termasuk juga bahasa ibu (mother tongue) yang kerap digunakan dalam keseharian. Oleh karena itu, hal yang paling penting ialah bagaimana cara penutur untuk dapat menggunakan bahasa sesuai situasi dan kondisi. Umumnya, penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah semisal bahasa minang oleh sebagian masyarakat termasuk kepada bentuk bahasa informal dan harus dituturkan dalam situasi santai dengan teman, kerabat dan lain sebaginya.
Sebenarnya keberagaman bahasa menjadikan masyarakat semakin arif dan bijak. Sebagai masyarakat terutama generasi muda sebaiknya mampu berbahasa dengan situasi yang ada, menempatkan bahasa sesuai tempatnya dan gaya bertutur yang tepat maka sudah dapat dikatakan berbahasa yang baik sesuai dengan sifat bahasa yaitu dinamis dan arbitrer.
Dalam upaya mempertahankan dan melestarikan bahasa, Badan Bahasa mengeluarkan istilah Trigatra Bahasa yang bermakna bahwa sebagai masyarakat yang bijak kita harus mengutamakan penggunaan bahasa nasional Bahasa Indonesia, disamping itu kita juga harus bisa untuk melestarikan bahasa daerah serta mampu menguasai bahasa asing. Tiga komponen bahasa ini merupakan hal yang harus diketahui oleh masyarakat bahwa pentingnya pengetahuan akan bahasa meliputi bahasa nasional, bahasa daerah dan bahasa asing.
Percampuran Bahasa Indonesia dan bahasa daerah, misalnya bahasa minang justru dapat melestarikan bahasa daerah itu sendiri hanya saja jika digunakan dengan situasi dan kondisi yang tepat karena merupakan salah satu bentuk bahasa informal. Selain itu, sebenarnya tidak ada istilah bahasa gaul atau semacamnya dapat merusak bahasa nasional atau bahasa daerah, sebenarnya yang menjadi penyebab ialah penutur yang tidak dapat menempatkan penggunaan bahasa sesuai situasi dan kondisi. Oleh karena itu diharapkan masyarakat untuk dapat berbahasa sesuai situasi dan kondisi. Dalam kondisi santai boleh menggunakan bahasa informal semisal campuran bahasa indonesia dan minang bahkan bahasa gaul, sebaliknya dapat gunakan bahasa formal dalam kondisi yang telah ditentukan.
*Narasumber merupakan Dosen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Andalas