*Oleh : Salwa zafirah
Bencana terjadi tanpa pandang bulu dan dapat terjadi di mana saja kapan saja. Apalagi mengingat kondisi geografis Indonesia yang berada di antara lempeng tektonik dan sabuk vulkanik sehingga bencana seperti gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, dan banjir menjadi sesuatu yang sepatutnya sudah dapat diantisipasi. Namun, persiapan terhadap bencana ini nampaknya masih perlu perhatian lebih. Salah satu kelompok masyarakat yang belum mendapatkan atensi maksimal ketika terjadi bencana adalah mereka yang memiliki gangguan psikiatri dan disabilitas. Tidak jarang mereka tidak mendapatkan pertolongan dan justru “ditinggalkan” ketika bencana terjadi.
Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika gempa bumi menimpa Sulawesi Barat pada Januari 2021 lalu. Angka korban disabilitas dari peristiwa ini mencapai 150 jiwa dan masih bertambah—dikarenakan masih sulitnya identifikasi korban dengan disabilitas sehingga data ini dianggap belum akurat (Kustiani, 2021). Padahal, kelompok ini sangat rentan dan menghadapi berbagai tantangan yang unik (termasuk tantangan fisik, sosial, dan ekonomi) ketika dihadapi oleh bencana dikarenakan keistimewaan yang dimilikinya (Santoso et al., 2015).
Tampaknya, memastikan kesiapan kelompok ini dalam menghadapi bencana dan melengkapi kebutuhannya ketika bencana terjadi masih belum mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat. Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan beberapa perencanaan yang dapat disiapkan serta upaya penanganan yang dapat diterapkan bagi individu dengan gangguan psikiatri dan disabilitas ketika menghadapi bencana. Pada tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada kelompok dengan gangguan depresi, PTSD, intellectual disability.
Bencana alam yang merusak tatanan fasilitas pemerintahan seperti kantor administrasi hingga pemukiman warga menyebabkan beberapa penyintas mengalami perubahan, baik dari aspek fisik maupun psikologis. Perubahan dan reaksi yang terjadi pada penyintas bervariasi. Berbagai kehilangan yang disebabkan oleh bencana, mulai dari kehilangan motivasi serta kesepian, kehilangan mata pencaharian ataupun pekerjaan, kehilangan sanak saudara dan keluarga, serta kekhawatiran akan masa depan, kurangnya kepercayaan diri untuk mengatasi masalah yang dihadapi, dan kekhawatiran akan kemiskinan merupakan beberapa dampak yang biasa muncul pada penyintas setelah bencana terjadi. Jika tidak segera diberi penanganan yang tepat, reaksi maladaptif terhadap bencana nantinya dapat memengaruhi kesehatan mental penyintas.
Menurut World Health Organization (WHO), depresi ialah suatu gangguan mental yang ditandai dengan kehilangan kesenangan ataupun minat, mood tertekan, merasa bersalah serta harga dirinya rendah, terjadi gangguan pada makan ataupun tidur, dan juga berkurangnya energi serta konsentrasi yang rendah pula.
Bencana dapat menjadi momen yang tak terlupakan dan memunculkan reaksi psikologi berupa stress negatif yang dapat berlanjut pada ASD (Accute Stress Disorder). Hasil dari suatu penelitian mengatakan bahwa ASD dapat memprediksi PTSD dan gejala depresi (Cheng, J., Liang, Y., Fu, L., & Liu, Z., 2020). Dampak paling umum yang dirasakan oleh masyarakat pasca bencana alam yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dikenal dengan stress pasca trauma. PTSD sendiri merupakan kejadian yang traumatis pada individu sehingga membuat seseorang sulit untuk menetralisir ingatan dari kejadian tersebut dari pikirannya (Pertiwi & Nuffida, 2017). Ide bunuh diri komorbiditas terjadi umum nya pada kasus PTSD, lalu diikuti depresi sebesar 19%, fobia spesifik 7% dan penyalahgunaan alkohol 4% (Arnberg, et., al., 2013).
lebih lanjut akan dibahas mengenai pemulihan psikis (healing) dari kondisi gangguan PTSD pada korban bencana. Perencanaan pemulihan sebagai bentuk penanganan dapat dilakukan dengan cara terapi pernapasan. Terapi pernapasan yang dapat dilakukan salah satunya yakni extended connected breathing (ECB). ECB pada dasarnya merupakan sesi terapi pernapasan dengan satu jam atau lebih dari pernapasan yang terhubung secara sadar dan diperpanjang. ECB dilakukan dengan posisi terlentang dan diikuti dengan mata tertutup.
Dengan teknik pernapasan ECB individu diajarkan dengan cara membiarkan dorongan pengalaman mental dan fisiologis masuk secara spontan, meskipun itu hal tersulit dan tanpa perlu ada usaha untuk mengendalikannya. Lalu pada akhir sesi dilakukan intervensi mengenai tanggapan individu korban bencana mengenai pengalaman frustasi nya. Teknik pernapasan terbukti dapat mengurangi rasa was-was akan suatu kejadian yang penuh tekanan.
Kelompok istimewa selanjutnya ialah Intellectual disability merupakan individu yang memiliki kesulitan perilaku sosial seperti sulit untuk memahami beberapa hal sehingga dapat berpengaruh terhadap mereka (Astuti & Prasetyo, 2020). Saat terjadinya bencana alam, setiap orang memiliki berbagai cara dalam menyelamatkan dirinya, tak terkecuali bagi para penyandang intellectual disability. Individu yang mengalami intellectual disability memiliki keterbatasan yang dialami sehingga membutuhkan pelayanan dan fasilitas khusus yang dapat membantu serta mendukung dalam mobilitasnya di saat terjadi bencana. Individu dengan intellectual disability ini memiliki ciri-ciri diantaranya sulit untuk berbicara, tidak dapat berpikir dengan logis, dan memiliki keterlambatan dibandingkan dengan individu seusianya.
Jika dilihat berdasarkan Undang-Undang RI Pasal 1 Ayat 1 No. 8 Tahun 2016 mengenai penanggulangan bencana, disebutkan bahwa penyandang disabilitas mendapat perhatian khusus dan menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan risiko bencana. Akan tetapi sangat disayangkan, tindakan lebih lanjut mengenai bagaimana penanganan individu dengan penyandang disabilitas ketika bencana terjadi masih belum optimal. Padahal, mereka yang berasal dari kelompok disabilitas memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya dikarenakan kekhususan yang dimilikinya.
Hingga saat ini belum ada promosi secara meluas kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai upaya evakuasi yang dapat dilakukan terhadap individu dengan intellectual disability. Informasi mitigasi bencana yang beredar luas masih terbatas seputar bagaimana, menggunakan apa, serta ke arah mana masyarakat harus berlindung untuk menyelamatkan dirinya. Padahal, mitigasi bencana yang dibutuhkan oleh kelompok intellectual disabilitas tentunya berbeda, mengingat kelompok ini memiliki kebutuhan khusus yang berbeda dibandingkan masyarakat umum. Jika ditinjau kembali, aksesabilitas dari jalur evakuasi juga dinilai tidak representatif bagi kepentingan dan kebutuhan penyandang intellectual disability.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Probosiwi (2014), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam proses evakuasi dan penyelamatan korban intellectual disability, salah satunya fokus pada luka yang dialami oleh korban, apakah terdapat luka serius atau tidak). Dikarenakan kekhususan yang dimilikinya, individu dengan intellectual disability memiliki resiko yang tinggi terhadap cedera dan terjebak ketika bencana terjadi dikarenakan mereka memiliki kekurangan dalam kemampuan intelektual dan adaptif. Para personil Tim SAR harus memiliki kemampuan dan pengetahuan mengenai bagaimana beradaptasi dengan teknik penyelamatan dalam menangani penyandang intellectual disability.
Selain itu, BNPD juga menyarankan untuk mengikutsertakan kelompok disabilitas dalam proses pencarian dan evakuasi ketika bencana terjadi. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan pelatihan serta bimbingan terhadap individu yang mengalami intellectual disability dalam membantu mereka menghadapi bencana alam.
Demikianlah tulisan mengenai beberapa hal yang dapat diterapkan untuk menanamkan kesiapsiagaan dan upaya penanganan bagi penyintas bencana dengan gangguan psikiatri dan disabilitas. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dukungan dan partisipasi dari keluarga terdekat, masyarakat luas, tim penyelamat dan juga individu dengan kekhususan itu sendiri penting dalam mengatasi isu dari fokus penulisan ini.