Oleh: Sandra Ardiyana*
Berbicara tentang Natuna, pastilah tidak bisa lepas dari pemandangan lautnya yang indah. Namun, tak hanya pemandangan laut saja yang bisa didapatkan. Terletak di kepulauan maritim, Kabupaten Natuna menjadi salah satu penghasil kekayaan laut yang banyak terutama ikan tongkolnya. Hal ini membuat Natuna memiliki banyak makanan khas yang berbahan dasar ikan, salah satunya ikan tongkol salai.
Ikan tongkol salai atau ikan tongkol asap merupakan salah satu makanan khas yang wajib dicoba dan dibawa sebagai oleh-oleh jika mengunjungi Kabupaten Natuna. Hal yang menjadikan ikan tongkol salai ini unik adalah proses pembuatannya yang menggunakan asap, sehingga rasa amis dari ikan tidak akan terasa.
Proses pengasapan membuat pembuatan ikan tongkol salai ini memakan waktu tiga hingga empat jam. Mulai dari pembersihan ikannya dengan cara dibelah dua, dilanjutkan dengan proses penggaraman dan pemberian bumbunya, lalu dimarinasi. Pada proses pengasapan, tungku pembakaran dan ikan berjarak selutut agar diperoleh hasil pengasapan yang optimal dan kematangan yang pas. Olahan ikan tongkol salai ini biasanya disajikan dengan samba lado sebagai penambah cita rasanya.
Selain proses pembuatannya yang cukup unik, ikan ini juga dipastikan tidak berbau amis karena proses pembuatannya melalui proses pengasapan. Selain itu, ikan tongkol salai juga cukup tahan lama. Jika dimasukkan ke pendingin, ikan tongkol salai bisa bertahan hingga satu bulan lamanya. Ikan tongkol salai cocok dijadikan oleh-oleh atau stok makanan dirumah. Hal itu dipaparkan oleh Azmi, salah satu penjual sekaligus yang membuat ikan tongkol salai ketika diwawancarai Genta Andalas.
“Ikan tongkol salai ini bisa tahan dalam waktu yang lumayan lama. Kira-kira tahan sebulan jika dimasukkan ke pendingin dan tahan hingga tiga sampai empat hari di luar pendingin. Jadi cocok untuk oleh-oleh atau jadi makanan untuk stok dirumah,” jelas Azmi.
Ikan tongkol salai tak hanya dijual di Kabupaten Natuna saja, namun juga di daerah-daerah Provinsi Kepulauan Riau lainnya terutama di Tanjungpinang, Batam, dan Ranai.
*)Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas