Oleh: Fadhia Ananta Usman*
Menyongsong pesta demokrasi Indonesia pada 2024 mendatang, tentu banyak isu-isu berkenaan dengan Pemilihan Umum (Pemilu) yang bermunculan di tengah masyarakat. Penundaan pemilu menjadi salah satu isu yang hangat dibincangkan akhir-akhir ini. Hal tersebut sejurus dengan hadirnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Nomor 757/Pdt.G/2022/PT.Jkt.Pst pada tanggal 8 Desember 2022 kemarin. Putusan ini memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 serta memerintahkan KPU untuk mengulangi kembali tahapan Pemilu dari awal. Dalam artian putusan tersebut juga meminta adanya penundaan Pemilu 2024 yang akan datang.
Persoalan ini dilatarbelakangi oleh salah satu parpol baru calon peserta pemilu 2024 yakni Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU. Pihak Partai Prima mendalilkan bahwasanya gugatan ini sendiri muncul dikarenakan dalam masa pendaftaran partai di KPU, ditemukan adanya dugaan kecurangan oleh KPU yang menyebabkan Partai Prima tak dapat lolos tahapan pendaftaran parpol, yaitu verifikasi administrasi.
Pada dasarnya, dalam proses pendaftaran partai politik menjelang pemilu, khususnya partai baru ada beberapa tahapan yang perlu dilaksanakan mulai dari pendaftaran parpol, verifikasi administrasi, verifikasi faktual, sampai pada akhirnya penetapan parpol peserta pemilu. Dugaan ini muncul ketika Partai Prima melakukan tahapan verifikasi administrasi, data yang dimasukkan oleh Partai Prima berbeda dengan data yang tertera di sistem Informasi Partai Politik (SIPOL). Perbedaan data ini tentu membuat kerugian, dimana Partai Prima dianggap Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk mendaftarkan diri dan langsung dinyatakan tak bisa mengikuti tahapan pendaftaran selanjutnya. Hal ini dengan jelas memberikan kerugian bagi seluruh anggota Partai Prima.
Namun sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), sebenarnya Partai Prima telah lebih dahulu melakukan upaya hukum dengan menggugat hasil SIPOL terlebih dahulu ke Bawaslu. Sebagai lembaga yang berwenang mengawasi pemilu, Bawaslu mengamini hal tersebut dan melayangkan perintah agar KPU mau membuka kembali sistem SIPOL agar hendaknya partai Prima dapat memperbaiki kembali datanya. Akan tetapi, KPU tak mengindahkan hal tersebut dan Bawaslu tidak bisa melakukan tindakan lanjutan di karena perkara tersebut telah diputuskan.
Upaya hukum selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun usaha yang dilakukan Partai Prima juga tak berbuah manis. PTUN menolak perkara tersebut dengan dalih ini bukan ranah kerja mereka, dan Partai Prima juga menyadari bahwa mereka tidak punya legal standing yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke PTUN karena mereka bukan partai politik peserta Pemilu. Atas dasar tersebut pada akhirnya Partai Prima mengajukan upaya hukum terakhirnya guna mencari keadilan kepada PN Jakpus, yang pada akhirnya menerima gugatan Partai Prima terhadap KPU.
Putusan atas gugatan tersebut memang menguntungkan Partai Prima, namun jikalau ditinjau kembali maka hasil dari putusan tersebut sangat bertentang dengan konstitusi sebab hasil putusan tersebut menyinggung soal penundaan Pemilu di Indonesia. Ada beberapa alasan yuridis kenapa putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi. Pertama, isi putusan tersebut mencederai Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 22E ayat (1) yang menyatakan bahwa Pemilu di Indonesia dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan uraian pasal tersebut, tak ada satu kondisi apapun yang membenarkan pemilu ditunda pelaksanaannya.
Lebih lanjut berdasarkan UU Pemilu pun juga tidak terdapat mekanisme dalam penundaan Pemilu, dalam UU ini hanya terdapat istilah Pemilu susulan. Tepatnya pada Pasal 431 dan Pasal 432, yang mana terdapat syarat-syarat tertentu seperti, kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam. Pemilu susulan dan lanjutan juga hanya dapat dilakukan pada daerah bersangkutan (bukan nasional) dan pihak yang berhak menyatakan Pemilu susulan dan lanjutan adalah KPU, bukan lembaga lainnya.
Kedua, putusan ini dianggap tidak relevan karena dikeluarkan oleh yang bukan lembaga terkait dan berwenang. Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari mengemukakan bahwa putusan PN Jakpus ini cacat konstitusional karena melanggar banyak aturan di atasnya. Paling penting pelanggaran terhadap Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 pada Pasal 10 dan Pasal 11. Pasal 10 sendiri berbunyi perkara perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau Pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang diajukan ke Pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa maka harus dilimpahkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 11 menyatakan untuk perkara yang sedang diperiksa, maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili.
Ketiga, keberadaan perkara ketika diajukan ke PN seharusnya menjadi ranah hukum privat antara penggugat (Partai Prima) dan tergugat (KPU), namun justru putusan yang dikeluarkan PN adalah ranah hukum publik yang putusan tersebut mempengaruhi masyarakat seluruh Indonesia yang dalam hal ini terkait dengan permasalahan Pemilu. Tumpang tindih hasil putusan ini sejalan dengan pengajuan perkara yang tak sesuai pada tempatnya, pengabaian terhadap tugas pokok setiap lembaga negara menjadikan permasalahan putusan penundaan pemilu oleh PN Jakpus ini menjadi bentuk pembodohan dan pengabaian konstitusi dengan cara yang aneh.
Namun kabar baiknya, putusan PN Jakpus terhadap gugatan yang dilayangkan Partai Prima telah dibatalkan. Hal ini berdasarkan pada Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menyebut bahwa PN Jakpus tidak punya kapasitas untuk dapat mengadili serta memutuskan perkara tersebut beberapa waktu silam. Akan tetapi, selama putusan ini belum berkekuatan hukum tetap, maka ancaman penundaan Pemilu akan tetap mengintai republik ini.
*Penulis Merupakan Mahasiswi Jurusan Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas