Oleh: Souty Syahrani*
Akhir-akhir ini, cuaca ekstrem kembali melanda sejumlah belahan wilayah di dunia. Melansir dari mediaindonesia.com, tercatat di India, Thailand dan Myanmar, suhu panas mencapai 45 derajat celsius. Lebih parahnya, cuaca ekstrem ini telah memakan korban diantaranya sebanyak 13 orang tewas akibat sengatan panas di negara bagian Maharashtra di India barat. Sedangkan di Indonesia, tercatat wilayah Ciputat, Tangerang Selatan, menjadi daerah dengan suhu panas harian tertinggi yakni sebesar 37,2 derajat celsius.
Adapun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan cuaca panas ekstrem yang melanda Indonesia akhir-akhir ini akan terus berlangsung hingga Juni 2023. Selain itu, BMKG juga memaparkan penyebab cuaca panas ekstrem tersebut dikarenakan pemanasan global yang menimbulkan gelombang panas. Hal ini menyebabkan krisis iklim yang kembali menerpa, tak hanya Indonesia, bahkan dunia, terutama Asia.
Lalu, apa penyebab dari krisis iklim ini? Fenomena gelombang panas tersebut tidak dapat lepas dari campur tangan manusia. Penyebab utama dari gelombang panas ini adalah adanya Gas Rumah Kaca (GRK). Adapun sebenarnya gas rumah kaca memang dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi tetap stabil. Namun, akibat ulah manusia konsentrasi gas rumah kaca semakin meningkat sehingga suhu bumi pun juga meningkat.
GRK buatan manusia terbentuk dari berbagai macam aktivitas sehari-hari, seperti penggunaan kendaraan bermotor yang dapat menghasilkan gas karbon dioksida. Di Indonesia, mayoritas penduduknya masih menggunakan kendaraan bermotor yang dapat memperparah GRK. Ini menandakan masih kurangnya kepedulian masyarakat terhadap bahayanya GRK. Tak hanya itu, penggunaan kulkas dan AC (Air Conditioner) juga salah satu faktor pemanasan global. Mengapa demikian? Hal ini karena kandungan CFC (chlorofluorocarbon) yang dapat menipiskan lapisan ozon, hingga tidak dapat menahan sinar UV dari matahari.
Selanjutnya adalah sampah yang dihasilkan oleh masyarakat, karena setelah mengalami pembusukan, akan terbentuk gas metana yang juga merupakan salah satu GRK. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) didapati bahwa jumlah sampah di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 70 ton. Hal ini menunjukkan, masih kurangnya inisiatif masyarakat untuk mengurangi sampah dan penggunaan plastik pun masih terlihat jelas.
Lebih lanjut, pembakaran batu bara, minyak dan gas juga menjadi faktor yang memperparah krisis iklim karena menghasilkan karbon dioksida dan dinitrogen oksida yang merupakan GRK. Kemudian, aksi penebangan hutan juga merupakan penyebab dari pemanasan global, karena pohon seharusnya dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer hingga dapat mengatur iklim agar stabil. Namun tampaknya masyarakat tak jera-jera, dimana terus melalukan penebangan atau pembakaran hutan dan pohon secara illegal.
Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mulai memperhatikan dan menjaga bumi, demi keberlangsungan hidup manusia. Hal ini dapat dimulai dari hal sederhana, seperti mengurangi penggunaan kendaraan bermotor atau transportasi umum yang menggunakan bahan bakar bensin atau diesel, karena dapat melepaskan karbon dioksida, dan polutan lainnya. Kemudian, kita juga dapat mencari alternatif lain dengan mengendarai sepeda atau menggunakan kereta api. Lalu mengurangi penggunaan AC dan kulkas yang mengandung CFC, atau menggantikannya dengan AC atau kulkas non-CFC yang ramah lingkungan. Mematikan semua peralatan elektronik saat tidak digunakan juga dapat mencegah peningkatan pemanasan global. Selanjutnya mengurangi penggunaan kertas dan tisu, serta aktif menggunakan plastik yang dapat didaur ulang.
Selain dari usaha individu masyarakat, perlu pula usaha dan tindak mitigasi dari pemerintah untuk mencegah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim ini. Indonesia sendiri masuk ke dalam 10 besar negara penghasil GRK terbesar di dunia, sehingga pemerintah tak dapat lagi memandang remeh permasalahan ini. Bahkan, berdasarkan hasil penelitian Panel on Climate Change pada tahun 2022 dari PBB, menyebutkan bahwa manusia hanya memiliki waktu tiga tahun, tepatnya sampai tahun 2025 untuk memperbaiki efek rumah kaca. Oleh sebab itu, perlu dibentuknya aturan dan kebijakan untuk mengurangi penyebab-penyebab pemanasan global dan penindakan tegas terhadap masyarakat, terutama untuk pelaku industri atau pelaku ekonomi, agar menggiatkan ekonomi hijau atau memproduksi barang yang ramah lingkungan. Dengan demikian, masyarakat akan sadar dan jera untuk melakukan aktivitas yang berpotensi memperparah pemanasan global. Maka dapat disimpulkan bahwa menumbuhkan sikap dan rasa kepedulian menjaga bumi bukan lagi menjadi hal yang dianjurkan, melainkan diharuskan. Jika bukan kita yang menjaga bumi, maka siapa lagi?
Penulis merupakan mahasiswi Departemen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas