Oleh: Tiara Juwita*
Film Hamka dan Siti Raham Vol. 2 merupakan bagian lanjutan dari film biografi Buya Hamka garapan Fajar Bustomi yang pertama tayang pada April 2023 lalu. Film yang dibagi menjadi tiga bagian ini telah mendapat banyak reaksi positif dari penonton sejak bagian pertama diluncurkan. Dalam kurun waktu dua minggu, film Buya Hamka Vol. 1 mampu meraup hingga lebih dari satu juta penonton. Tak heran, jika lanjutan film biografi tokoh pemikir asal negeri Minangkabau tersebut banyak ditunggu-tunggu.
Film Hamka dan Siti Raham dibuka dengan kisah perjuangan Hamka setelah Indonesia merdeka. Pada saat itu, kondisi Indonesia masih belum stabil, perlawanan masih terjadi di berbagai tempat, baik antara pihak asing Belanda terhadap pribumi, maupun antara sesama penduduk pribumi. Hamka berusaha melerai pertempuran, tetapi justru malah tertembak. Bersyukur selang beberapa hari Hamka dapat siuman dari luka tembaknya dan saat itu ia tahu bahwa Indonesia dan Belanda telah menyepakati penghentian perlawanan, dengan menandatangani perjanjian Roem Royen.
Situasi setelah perjanjian Roem Royen sudah cukup aman, Hamka dan keluarga dapat kembali ke rumah mereka di Ibu kota. Namun, selalu saja ada pasang dan surut, ujian datang menghampiri. Hamka dijebloskan ke penjara dengan tuduhan ingin menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno. Saat itu, hari demi hari Hamka diuji. Penderitaan itu tak hanya dirasakan oleh Hamka tetapi juga istri dan anak-anaknya.
Melalui jalan ceritanya, film ini lebih tampak menonjolkan nilai-nilai amanat melalui karakter tokoh. Aktor kenamaan Indonesia, Vino G Bastian berhasil menghidupkan karakter Hamka dari berbagai sudut pandang dengan sangat kuat, yakni sebagai seoarang pejuang yang tak kenal takut, ulama, penulis, serta pria penyayang keluarga. Selain itu, karakter Siti Raham sebagai istri yang patuh dan setia terhadap suami. Namun, sayangnya alur cerita film yang dibawakan kurang bisa dinikmati tanpa memiliki pengetahuan tentang sejarah dan latar belakang para tokoh. Alur cerita terkesan ‘melompat- lompat’ dari tahun 1949, 1959, 1966, 1970, dan 1975.
Apresiasi yang setinggi-tingginya patut diberikan atas peluncuran karya film yang membawa adat budaya Indonesia. Tak tanggung-tanggung, beberapa adegan dalam film ini mengambil setting tempat di kampung halaman sang Buya, dan sekitarnya yakni Bukittinggi, Payakumbuh, dan Agam. Hasilnya representasi budaya Minangkabau betul-betul dapat dirasakan, melalui kehadiran Rumah Gadang dan susana perkampungan yang masih kental, ditambah dengan alunan alat musik talempong dan saluang sebagai backsound.
Bahasa Minangkabau juga menjadi salah satu bahasa pilihan yang cukup dominan dalam film ini. Namun, sayangnya masih ada beberapa kosakata dalam adegan film bahasa Minang dengan selipan bahasa Indonesia, ada baiknya dicari padanan bahasa Minang nya. Contohnya, pada adegan disaat Aliyah memakan ubi beracun, “Tolong lihat dibelakang,” kata Siti Raham.
Tata rias pemain dalam film ini betul-betul selaras dengan latar waktu. Berkat keahlian Jerry Otavianus sebagai penata rias wajah, mampu menghadirkan sosok Sang Buya dan Siti Raham yang seakan-akan bertambah usia meski tetap dengan pemeran yang sama. Sehingga pergerakan waktu di dalam cerita sangat terasa.
Di samping beberapa kelemahan dan kelebihan, film ini cocok untuk ditonton karna mengandung banyak nilai yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran, seperti cinta tanah air, nilai religius, keberanian, keuletan, serat romantisme kehidupan dalam berumah tangga. Selain itu, bagi kamu yang belum pernah ke Sumatra Barat, film ini menyajikan keindahan alam khas daerah setempat. Kamu dapat menemukan deretan bukit batu dengan padu padan sungai menjuntai dan keasrian alamnya yang hijau seakan-akan bisa dirasakan, sangat pas mengisi waktu liburmu.
Selamat menonton!
*Penulis merupakan mahasiswi Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas