Pasang Iklan Disini

Menilik Kebebasan Pers, Ditengah Tekanan Regulasi yang Mengikat


(Ilustrasi/Vika Yuliandari)

Oleh: Asyani Rahayu Simatupang*

Untuk menjamin kemerdekaan pers sebagai wujud kedaulatan rakyat sekaligus memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar demi terciptanya kehidupan masyarakat yang demokratis, wartawan Indonesia membutuhkan landasan moral dan pedoman etika profesi untuk menjaga kredibilitas, profesionalisme, serta kepercayaan publik. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menetapkan bahwa himpunan etika profesi kewartawanan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Undang-undang ini juga menjamin kebebasan pewarta dalam menyampaikan opini, gagasan, dan pandangan, sehingga kebebasan pers dapat berfungsi optimal dalam mendukung terciptanya masyarakat yang adil, demokratis, dan berlandaskan hukum.

Kebebasan pers beserta tanggung jawabnya secara tegas diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.” Selain itu, pada ayat (4) diatur bahwa “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak.” Hak tolak ini memberikan kebebasan bagi wartawan untuk melindungi kerahasiaan sumber berita, sehingga kebebasan pers tetap terjaga tanpa mengesampingkan tanggung jawab hukum.

 Pers yang bertanggung jawab akan berperan penting dalam pembentukan kecerdasan bangsa, sebab tidak menggiring opini secara sepihak dan membelokkan fakta. Sebaliknya, pers yang bertanggung jawab berfokus pada penyajian informasi yang objektif dan edukatif, sehingga dapat mendorong masyarakat untuk berpikir kritis, memahami berbagai sudut pandang, serta membuat keputusan yang bijaksana berdasarkan informasi yang akurat dan terpercaya.

Dalam konteks kebebasan pers, media memiliki hak untuk memberitakan berbagai hal tanpa intervensi pihak lain. Namun, kebebasan tersebut harus dibarengi dengan komitmen untuk menyampaikan berita sebenar-benarnya, bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan komersial. Kebebasan pers juga memungkinkan media menyajikan konten yang bervariasi, dari laporan investigatif hingga hiburan, yang semuanya dapat memperkaya wawasan masyarakat. 

Namun, kebebasan pers dihadapkan pada tantangan dengan adanya rencana revisi UU Penyiaran yang menuai kontroversi. Revisi ini dianggap oleh berbagai pihak sebagai ancaman terhadap kebebasan pers, karena berpotensi memperketat pengawasan pemerintah terhadap media dan memperlemah independensi redaksi. Selain itu, revisi tersebut dinilai dapat membatasi akses masyarakat terhadap informasi publik yang seharusnya terbuka, mengurangi keberagaman sudut pandang, dan membatasi konten yang dapat diakses di ruang digital. Kekhawatiran ini muncul karena aturan yang ketat dapat menghambat media dalam menjalankan fungsi kritisnya, terutama dalam menyajikan laporan investigatif yang mungkin berisiko namun penting untuk kepentingan publik. 

Pasal 50 ayat 2 dalam RUU Penyiaran dinilai mengancam kebebasan pers karena berpotensi mengatur dan membatasi konten yang disiarkan, terutama dalam ranah digital. Meskipun isi pastinya dapat berbeda berdasarkan perubahan draf, pasal ini biasanya mencakup ketentuan yang memperketat kontrol pemerintah terhadap isi siaran dan platform digital, termasuk persyaratan izin serta pengawasan konten yang dianggap “tidak sesuai” oleh otoritas tertentu.

Kritikus menyatakan bahwa ketentuan ini berisiko membatasi independensi media karena memberi pemerintah kewenangan lebih besar untuk menyensor atau bahkan menghentikan penyiaran konten yang dianggap sensitif atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Kebijakan semacam ini tidak hanya menekan jurnalis dan media dalam menjalankan perannya secara bebas, tetapi juga berpotensi mengurangi akses masyarakat terhadap beragam perspektif informasi yang diperlukan dalam masyarakat yang demokratis. Dengan demikian, pasal ini dianggap melanggar prinsip kebebasan pers yang mengedepankan hak masyarakat untuk menerima informasi tanpa intervensi dan kontrol yang berlebihan dari pihak tertentu.

Di sisi lain, tanggung jawab pers kini semakin kompleks dengan hadirnya citizen journalism atau jurnalisme warga. Dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin mudah, masyarakat umum kini memiliki kesempatan untuk turut menyampaikan berita dan opini mereka sendiri, terutama melalui media sosial dan platform digital. Meskipun citizen journalism membawa dampak positif, seperti penyampaian informasi secara cepat dan memperluas partisipasi publik dalam isu-isu sosial, namun praktik ini juga menimbulkan tantangan besar bagi kredibilitas pers. Tidak semua informasi yang disampaikan melalui citizen journalism memenuhi standar verifikasi dan etika jurnalistik yang ketat seperti yang diterapkan wartawan profesional.

Akibatnya, risiko penyebaran berita tidak akurat atau hoaks meningkat, yang dapat mengganggu kredibilitas media utama dan jurnalis profesional. Hal ini membuat media arus utama harus lebih berhati-hati dalam memilih sumber, menjaga akurasi berita, dan melawan arus informasi yang tidak terverifikasi. Tanggung jawab pers pun semakin besar untuk tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengkonsumsi informasi dari sumber yang kredibel dan dapat dipercaya.

Dalam menghadapi tantangan era digital dan maraknya citizen journalism, kebebasan pers harus diiringi dengan tanggung jawab yang semakin besar. Di tengah arus informasi yang cepat dan kerap tidak terverifikasi, media profesional menjadi ujung tombak dalam memastikan masyarakat menerima berita yang akurat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh misinformasi atau hoaks. Kebebasan pers yang bertanggung jawab inilah yang memungkinkan masyarakat membangun perspektif yang kritis dan jernih dalam menilai setiap peristiwa.

Sebagai penjaga kepercayaan publik, wartawan harus selalu memegang teguh prinsip verifikasi, sebagaimana yang diajarkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen Jurnalistik. Verifikasi adalah inti dari kredibilitas jurnalistik yang tidak boleh diabaikan, sebab berita yang telah melalui proses verifikasi yang cermat memberikan jaminan keakuratan dan keandalan informasi kepada masyarakat. Dalam era digital yang penuh dengan berita cepat dan seringkali belum teruji kebenarannya, wartawan memiliki tanggung jawab untuk menguji fakta, menelusuri sumber, serta menyajikan laporan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Dengan menjadikan verifikasi sebagai landasan utama dalam setiap pemberitaan, wartawan tidak hanya menjaga kredibilitas profesi, tetapi juga menjalankan fungsi pentingnya dalam memperkuat demokrasi melalui informasi yang jujur dan akurat.

Pers yang bebas namun bertanggung jawab akan berperan sebagai penyeimbang informasi yang objektif, mendidik, dan berpedoman pada etika jurnalistik. Agar kebebasan dan tanggung jawab pers terwujud secara seimbang, regulasi yang tepat sangat dibutuhkan. Regulasi seharusnya mendukung independensi media tanpa mencampuri isi pemberitaan, sekaligus memastikan media tetap patuh pada prinsip-prinsip etik jurnalistik. Aturan yang berlebihan, seperti yang dikhawatirkan pada revisi UU Penyiaran, justru berpotensi mengekang kebebasan dan keberagaman informasi. Sebaliknya, regulasi yang mendorong keterbukaan, transparansi, dan perlindungan terhadap wartawan dapat mendukung pers sebagai pilar demokrasi yang kuat. Dengan kebebasan yang dijaga dan tanggung jawab yang dijunjung, pers mampu memainkan peran utamanya dalam membangun masyarakat yang cerdas dan sejahtera.

Editor: Nurul Ilmi Ramadhani

                                                      *Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *