Oleh: Fadhilatul Husni*
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Prinsip supremasi hukum merupakan landasan demokrasi yang tidak dapat dipisahkan. Dalam negara hukum, supremasi hukum menjadi pedoman utama, bukan kehendak individu atau golongan tertentu. Namun, di Indonesia, penerapan prinsip ini masih menghadapi berbagai tantangan yang serius dan berulang.
Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya independensi lembaga hukum. Idealnya, lembaga peradilan dan penegak hukum bertindak bebas dan netral, tanpa campur tangan kekuatan politik atau oligarki. Namun dalam praktiknya, kemandirian ini sering kali terancam. Proses hukum seringkali dipengaruhi oleh kepentingan elit, dan integritas penegakan hukum dirusak oleh nepotisme dan korupsi. Situasi ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, namun juga melemahkan esensi keadilan. Hakim yang seharusnya berperan sebagai penjaga keadilan seringkali mendapat tekanan dari luar yang mengakibatkan keputusan diambil berdasarkan kepentingan pihak tertentu dan bukan berdasarkan aturan hukum.
Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) menjadi momok yang mengancam prinsip negara hukum. Banyak pemimpin publik yang seharusnya menjadi teladan dalam menaati hukum, justru memperalat kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam beberapa kasus, pelanggaran ini ditutupi dengan dalih administratif atau prosedural, sehingga hukum tampak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kekuasaan yang dilegitimasi secara demokratis sering kali tergoda untuk disalahgunakan. Pemimpin yang seharusnya mengayomi rakyat justru menggunakan wewenangnya untuk memanipulasi aturan demi keuntungan pribadi. Kondisi ini menciptakan kesenjangan hukum yang tajam dan memperbesar ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Fenomena lain yang memperparah keadaan adalah pelanggaran prinsip netralitas yang dilakukan penyelenggara negara. Banyak pejabat negara, baik secara terbuka maupun diam-diam berpihak pada partai politik, terutama dalam situasi politik seperti pemilu. Alih-alih berpegang pada prinsip netralitas, pihak berwenang sering kali terlibat dalam penegakan kepentingan politik tertentu. Hal ini menyebabkan ketidakadilan dalam proses demokrasi dimana hukum digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Transparansi dan akuntabilitas, yang sering diusung dalam kampanye politik, kini menjadi narasi kosong yang belum terwujud. Laporan pelanggaran netralitas seringkali tidak ditindaklanjuti secara serius oleh pihak berwenang, dan budaya impunitas masih ada.
Semua permasalahan tersebut menunjukkan bahwa perwujudan supremasi hukum di Indonesia masih jauh dari ideal. Demokrasi dan supremasi hukum tanpa kepastian hukum akan menimbulkan anarki dan tirani. Tanpa hukum yang tegas, negara menjadi alat penguasa untuk menindas rakyat.
Dikutip dari tempo.co yang diambil dari pernyataan Aurelius Augustinus, dari Hippo (354-430) ”Jika hukum disingkirkan, negara hanyalah gerombolan perampok besar”. Demokrasi, yang seharusnya menjadi instrumen untuk melindungi hak-hak rakyat, justru berubah menjadi alat yang memperkuat dominasi kelompok tertentu.
Penting untuk dicatat bahwa demokrasi dan negara hukum sebenarnya saling mendukung. Demokrasi memberikan legitimasi kekuasaan melalui partisipasi rakyat, sedangkan negara hukum memastikan bahwa kekuasaan tersebut dijalankan dalam batasan hukum yang adil. Tanpa negara hukum, demokrasi akan kehilangan arah dan mudah diselewengkan. Sebaliknya, tanpa demokrasi, hukum sering kali menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan otoriter. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan beriringan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Untuk memperbaiki situasi ini, reformasi mendalam dalam sistem hukum dan politik menjadi kebutuhan yang mendesak. Salah satu langkah penting adalah memastikan independensi lembaga peradilan. Pemerintah harus benar-benar mendukung kemandirian lembaga hukum tanpa intervensi politik. Selain itu, integritas aparat penegak hukum harus ditingkatkan melalui pengawasan yang ketat dan penerapan sanksi tegas bagi mereka yang melanggar.
Edukasi publik juga memegang peranan penting dalam membangun kesadaran akan pentingnya supremasi hukum. Masyarakat perlu memahami bahwa hukum berlaku untuk semua, tanpa terkecuali. Mentalitas feodal yang masih mengakar, di mana pejabat publik dipuja seperti “raja yang tidak bisa berbuat salah,” harus dihapuskan. Pejabat negara adalah pelayan publik yang harus bertanggung jawab atas setiap tindakannya di depan hukum.
Selain itu, transparansi dalam proses hukum dan pemerintahan harus diperkuat. Semua kebijakan dan keputusan yang diambil oleh pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada masyarakat. Dengan transparansi, masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil.
Pada akhirnya, demokrasi yang sejati hanya dapat berdiri kokoh jika dijalankan dalam kerangka negara hukum yang kuat. Supremasi hukum bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi adalah pondasi yang memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi dan keadilan ditegakkan. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi ilusi, sementara rakyat terus menjadi korban dari penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan. Indonesia masih memiliki banyak PR untuk mewujudkan negara hukum yang sejati. Namun, dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, harapan itu tetap dapat diwujudkan.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas