Oleh: Sherly Oktariani*
Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam dan kekayaan satwa yang cukup banyak. Salah satunya gajah Sumatera. Di banyak tempat di Sumatra, populasi gajah menyusut sebab habitat hilang akibat pengalihan lahan dan perburuan liar. Menurut mongabay.id, tahun 1980-an, kantong atau wilayah jelajah gajah Sumatra terdapat 44 kantong yang tersebar dari Aceh hingga Lampung. Namun, jumlah kantong ini kian menyusut tiap tahunnya. Tahun 2011 hanya tersisa23 kantong. Di Riau, terdapat Delapan kantong gajah Sumatra antara lain, Tesso Nilo Tenggara, Tesso Nilo Selatan, Serangge, Petapahan, Mahato, Koto Tengah, Giam Siak Kecil, dan Balai Raja.
Di suatu kesempatan, saya beserta teman-teman bisa mempelajari dan berkunjung ke wilayah habitat gajah Sumatra di Suaka Margasatwa Balai Raja. Di sana, kami berkunjung ke kantong gajah Sumatra Balai Raja, Nursery, dan Agroforestary. Kami dapat melihat berbagai permasalahan yang timbul terhadap keberlangsugan gajah di Riau, mulai dari pembangunan jalan tol Pekanbaru-Dumai maupun ancaman terhadap keamanan gajah dengan masyarakat sekitar kantong Balai Raja dan kantong Giam Siak Kecil.
Selama berada di Suaka Margasatwa Balai Raja, kami ditemani pihak Rimba Satwa Fondation (RSF) sebagai pemandu jalan. RSF berisikan orang-orang yang memiliki keinginan untuk melestarikan dan melindungi satwa dari perlakuan manusia yang dapat menyebabkan satwa terancam punah dan mati dengan cara tidak wajar. Selain itu, RSF juga membantu mensurvei pembangunan terowongan gajah ketika akan dibangunnya jalan tol Permai. Hingga saat ini, perlintasan gajah tersebut juga diawasi dan dipantau secara berkala oleh relawan-relawan dari RSF.
Jalan tol mulus Pekanbaru-Dumai (Permai) digadang-gadang dapat memangkas perjalanan hingga 2 jam lamanya, sungguh hal yang sangat menguntungkan bagi manusia tetapi tidak dengan satwa yang ada disekitarnya. Kawasan tol tersebut telah memakan dua wilayah kantong gajah Sumatra dari Suaka Margasatwa Balai Raja dan Giam Siak Kecil. Kedua kawasan ini merupakan tempat perlintasan aktif gajah-gajah Sumatra yang ada di sana.
Sejak dibangunnya tol Permai beberapa waktu lalu, isu tergerusnya habibat gajah Sumatra Balai Raja terendus di kalangan banyak orang. Pihak pembuat tol menyadari bahwa pembangunan tol akan merusak perlintasan gajah-gajah Balai Raja dan Giam Siak Kecil, sehingga berpotensi mengakibatkan kepunahan. Kemudian bersama pihak terkait dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membangun underpass atau terowongan Gajah. Terowongan dengan tinggi kurang lebih 6 m dan lebar kira-kira 45 m itu nyaris tidak ada bedanya dengan terowongan biasa, bedanya ini digunakan sebagai perlintasan gajah dari Balai Raja ke Giam Siak Kecil ataupun sebaliknya.
Menurut GIS and Data Analyst dari RSF, Git Fernano mengungkapkan bahwa terowongan yang dibangun di Km 73 tersebut belum terlalu efektif untuk perlintasan gajah. Material tembok yang kurang kuat untuk menahan serangan gajah serta pakan gajah yang ditanam sekitar perlintasan masih sedikit. Kurangnya pakan gajah yang tertanam di sekitaran terowongan menyebabkan gajah menjadi kurang tertarik melintas. “Itu temboknya hanya sekali dorong aja sama gajahnya,” ujar Nando saat diwawancarai oleh Genta Andalas pada Kamis (18/5/2023).
Selain itu, menilik dari kasus codet —gajah jantan tanpa gading— menjadi satu-satungnya gajah jantan yang masih hidup di kantong Suaka Margasatwa Balai Raja dengan menginjak usia 70 tahun. Pada bulan Februari 2022 lalu, sempat viral melalui video di media sosial sebab gajah tersebut terpaksa melintas di jalan tol Km 73. Hal tersebut dikarenakan terowongan tergenang air hujan.
Hal ini jelas membuktikan bahwa masih banyak kekurangan pada terowongan ini. Nando menambahkan bahwa pihak RSF telah mencoba membicarakan hal ini ke pemerintah, usulan membangun pagar besi setinggi 3m sebagai pengganti tembok-tembok terowongan. Lalu, usulan penanaman pakan di sekitar terowongan juga dicanangkan. Namun, usulan yang diajukan pihak RSF hingga saat ini belum ditanggapi lebih lanjut oleh pemerintah.
Lalu, RSF dan pihak patroli bertugas memastikan perlintasan gajah aman dan memberi informasi pada masyarakat sekitar apabila gajah-gajah sudah mendekati perlintasan. Nando juga memprediksi jika tidak dijaga dengan baik, maka gajah sebagai hewan yang dilindungi akan punah pada 2025. Oleh sebab itu, Nando berharap masayrakat sekitar dapat saling mendukung melestarikan satwa yang dilindungi tersebut.
Selain itu, RSF juga menginisiasi program nursery, yaitu program pembibitan tanaman. Program ini terletak di kawasan Nursery, saat kami masuk ke dalam, terdapat gang kecil yang kiri dna kanannya dipenuhi oleh ketela pohon, tanah gersang, serta panas khas Riau. Namun, siapa sangka di ujung jalan terdapat tempat pembibitan tanaman dan dua kolam di smaping kanannya yang digunakan sebagai sumber air selama proses pembibitan.
Bibit tanaman ini nantinya akan dibagikan kepada para petani secara cuma-cuma di sekitar kawasan kantong Gajah Balai dan Giam Siak Kecil. Bibit tanaman tersebut berupa kako, petai, alpukat, manga, dan jengkol. Hal ini guna mengurangi konflik antara petani dan gajah dan mengurangi peresapan air yang mengakibatkan udara panas dan gersang di Riau.
Tidak hanya itu, sebagai kawasan kantong gajah, perkebunan milik masyarakat acapkali menjadi imbas dari hewan yang dilindungi tersebut. Hal ini membuat kelompok RSF menginisiasi program agroforestary, yakni pembagian bibit tanaman hasil nursery kepada para petani. Dari program agroforestary, terbentuklah Kelompok Hasil Tani (KTH) yang bertugas mengembangkan program tersebut dan membantu konservasi gajah.
Ketua KTH, Nanang bersama petani lainnya mengupayakan habitat yang layak bagi gajah “Upaya kita berhasil apabila gajah bisa makan, sehingga kita bisa saling berdampingan,” tutur Nanang.
Adanya beberapa upaya yang dilakukan oleh RSF, setidaknya dapat membawa harapan kehidupan bagi satwa dan manusia dapat hidup berdampingan. Tanpa harus merugikan satu sama lain. Manusia diberikan kelebihan akal agar dapat memikirkan bagaimana cara agar gajah bisa makan dan tidak merusak perkebunan warga.
*)Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Univeritas Andalas