Oleh: Bilqis Zehira Ramadhanti Ishak*
Demonstrasi merupakan wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi seperti mendukung, menolak, atau mengoreksi kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan. Pada Bulan Mei, dalam memperingati Hari Buruh Internasional, banyak masyarakat Indonesia terkhusus buruh yang melakukan aksi untuk menyampaikan aspirasinya. Puncak dari aksi demonstrasi diadakan pada 15 Juni 2022 lalu. Aksi demonstrasi ini melibatkan lebih dari enam ribu buruh yang dilakukan di depan Gedung DPR RI. Dilansir dari CNN Indonesia, aksi unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi mengenai revisi Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, menolak massa kampanye 75 hari, pengesahan RUU PPRT, dan menolak liberalisasi pertanian melalui WTO.
Banyaknya masyarakat yang menggelar aksi demonstrasi sepanjang tahun 2022 ini memperlihatkan antusiasme masyarakat dalam menyampaikan tuntutannya agar didengar oleh penguasa demi peningkatan kesejahteraan mereka. Akan tetapi, tidak sedikit masyarakat yang terkesan skeptis dengan pelaksanaan demo karena stigma demo yang sering berujung pada aksi yang ricuh. Belum lagi terdapat komentar dan opini masyarakat yang mengatakan demo sangat mengganggu kegiatan mereka karena dapat menutup akses jalan.
Fenomena ini sebetulnya dapat kita kaji dengan menggunakan teori sosiologi yaitu teori Konflik oleh Karl Marx. Di dalam bukunya, Marx menjelaskan bahwa cara untuk meningkatkan kesejahteraannya, masyarakat harus mampu memiliki kesadaran untuk mendesak penguasa demi memenuhi kebutuhannya. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa kita sebetulnya telah dieksploitasi oleh penguasa dan apabila hal ini dibiarkan saja, penguasa bisa saja semakin semena-mena dengan masyarakatnya.
Masyarakat yang sering berpandangan buruk terhadap pelaksanaan demonstrasi, dalam hal ini yang dilakukan oleh buruh, pada kenyataannya banyak juga yang berstatus seorang buruh. Pada dasarnya masyarakat yang bekerja sebagai pegawai PNS, Swasta, dokter, korporat juga merupakan kelas pekerja dan tergolong sebagai buruh. Marx memaparkan bahwa masyarakat golongan buruh yang tidak melakukan protes kepada penguasa dianggap memiliki kesadaran palsu. Bahwasanya mereka terjebak dalam ideologi yang menguntungkan kelas dominan.
Padahal jika kita lihat kenyataan yang terjadi demo yang dilakukan buruh ini sangat penting untuk dilakukan sebagai alat kontrol sosial para penguasa agar mereka tidak semena-mena dalam menerapkan peraturan bagi kaum buruh. Penguasa perlu diawasi dan diberi kritik untuk meningkatkan kinerja yang mereka lakukan, supaya kebijakan yang penguasa buat juga bisa sama-sama menguntungkan bagi pihak buruh.
Saling mengawasi dan kontrol sosial ini perlu dilakukan karena hubungan antara buruh dan penguasa berbentuk saling ketergantungan. Tanpa buruh, penguasa tidak dapat menjalankan usahanya dan memperoleh untung yang banyak. Serta tanpa penguasa, buruh tidak memiliki saluran untuk memiliki pekerjaan.
Dalam sejarahnya pun, kewajiban pemilik usaha untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan kepada pekerja merupakan hasil usaha dari buruh dalam menuntut penguasa yang pada awalnya hanya memberikan THR kepada Pegawai Negeri Sipil. Karena desakan tuntutan yang disampaikan oleh buruh, pemerintah akhirnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667/1954 tentang pengaturan pemberian THR bagi pekerja swasta, yang mana kebijakan inilah yang menjadi cikal-bakal pemberian THR kepada pekerja. Pada akhirnya hingga saat ini, pekerja di Indonesia dapat menikmati THR dan ini berlaku bagi setiap pekerja dengan semua agama resmi di Indonesia. Kebijakan ini adalah salah satu hasil dari beberapa tuntutan yang buruh sampaikan pada aksi demo.
Dapat dilihat banyak sisi positif yang didapatkan bagi kelas pekerja dengan adanya aksi tuntutan buruh. Meskipun jika kita telisik lebih jauh, salah satu penyebab masyarakat merasa skeptis dengan pelaksanaan demo adalah demo yang seringkali berujung pada aksi yang ricuh. Belum lagi adanya penyebaran opini melalui media sosial mengenai buruknya demo dan sindirian-sindiran yang diberikan penguasa kepada pelaku aksi demo yang menambah stigma buruk pelaksanaan demo. Akan tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan alasan bagi kita untuk tidak mendukung gerakan buruh untuk melakukan aksi tuntutannya. Karena, pada akhirnya yang merasakan keuntungan apabila tuntutan itu diterima bukan hanya pelaku demo saja melainkan seluruh buruh di Indonesia.
*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas