Oleh: Ade Selvia*
Kesehatan mental kerap menjadi perbincangan hangat saat ini. Salah satu jenis topik yang kian marak dibicarakan terkait kesehatan mental saat ini adalah OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Orang-orang yang mengalami OCD biasanya memahami apa yang ia alami hanya saja tidak mampu mengontrol diri. Hal ini terjadi karena penderita menutupi kecemasan nya dengan melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang. Seharusnya perlu dilakukan pengalihan aktivitas ataupun pikiran untuk menutupi kecemasan, tidak dengan melakukan satu kesibukan yang sama terus-menerus.
Dirujuk dari situs resmi WHO, diperkirakan bahwa 10-20 persen kalangan usia remaja di dunia rentan mengalami gangguan mental. Hal ini berbanding lurus dengan penemuan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, yang menunjukkan sebanyak 6.1% atau sebelas juta orang dengan usia muda mengalami gejala depresi dan kecemasan.
Salah satu gangguan kecemasan yang mayoritas diderita oleh kalangan remaja adalah Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. Secara populer, OCD dikenal sebagai gangguan pikiran untuk melakukan suatu tindakan secara berulang di luar kendali penderita, misalnya mencuci tangan, menutup pintu, mengelap sepatu secara repetitif dan lama. Hal ini mempengaruhi penderita sehingga merasa sulit meyakini bahwa ia sebenarnya telah melakukan suatu tindakan, namun tak bisa berhenti melakukannya dalam jangka waktu yang cukup lama, dan berhenti ketika merasa sudah yakin (APA, 2000; dalam Nevid, J.S. et al 2005).
Selain faktor genetik, penyakit mental jenis ini biasanya muncul akibat trauma terhadap satu peristiwa di masa lalu. Sebagai contoh, seseorang yang terlihat membuka-tutup dompetnya, menaruh ke saku, kemudian melakukan tindakan itu berulang kali, berkemungkinan mengidap OCD. Penyakit ini bisa saja diperoleh akibat trauma setelah mengalami kehilangan dompet.
Semenjak satu tahun pandemi Indonesia, masyarakat diimbau untuk mengurangi aktivitas di luar rumah dan berbagai kegiatan dialihkan secara daring. Intensitas kegiatan tentu tidak banyak menghabiskan waktu dibandingkan dengan sebelum pandemi. Jika dikaitkan dengan OCD, seseorang yang mengalaminya kian teralihkan pemikiran akan kecemasan ia sendiri yang berbuntut pada pengulangan aktivitas secara berlebihan.
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Afdal Hasan, mengaku mengalami OCD sewaktu pandemi. Diperkirakan penyebabnya adalah trauma masa lalunya yang sering kehilangan kunci motor dan rumahnya pernah kemalingan. Hal ini menyebabkan ia menutup pintu-pintu di rumahnya menghabiskan waktu sampai dua jam. Ia lama memasukkan kunci ke dalam sakunya, serta mengunci setang motor, mendirikan standar motor dalam waktu yang lama. Ia sering bolak balik untuk mengecek kemudian melakukannya lagi.
Dilansir dari halodoc.com OCD ini sendiri tidak dapat disembuhkan. Hal yang dapat dilakukan adalah untuk meredakan gejala OCD tersebut dengan psikoterapi serta konsumsi obat-obatan. Obat-obatan yang digunakan biasanya adalah SRI SSRIs dan juga antidepresan. Untuk psikoterapi sendiri mencakup terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi perilaku lainnya seperti pembalikan kebiasaan.
Penelitian juga menunjukkan bahwa CBT yang disebut sebagai Exposure and Response Prevention (EX/RP) adalah pilihan pengobatan tambahan ketika SRI dan SSRI tidak mampu meredakan gejala OCD.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Andalas