Oleh: Fauzan Akhiyar*
Semua kita sepakat bahwa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan bentuk perwakilan yang akan menjadi tombak terdepan dalam memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Dibalik itu, marujuk dari struktur kata “Mahasiswa” itu sendiri. Secara singkat dapat diartikan mereka adalah orang-orang yang menjadi harapan bagi nusa dan bangsa, agama, serta keluarganya masing-masing. Tentu harapan tersebut tidak mungkin hanya menjadi suatu opini belaka tanpa aksi yang nyata. Maka, semua kita tentunya juga akan sepemahaman, bahwa mahasiswa merupakan individu yang selalu mempertahankan idealismenya agar mampu untuk saling besar-membesarkan satu dengan yang lainnya. Demi tercapainya masyarakat adil makmur bagi rakyat Indonesia.
Agaknya seluruh kesepahaman tersebut mulai tergerus pada akhir-akhir ini. Ditandai dengan banyaknya mahasiswa yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Sehingga, mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak lagi merenungkan serta mewujudkan harapan-harapan yang telah kita tuangkan di atas. Akhirnya bermunculan orang-orang yang mengatakan bahwa saya yang terhebat, kami yang benar dan kalian salah, serta hal lain yang secara idealnya itu semua tidak pantas untuk dimunculkan. Jika hal tersebut selalu dibiarkan, tentu tidak akan ditemukan lagi para pelanjut estafet kepemimpinan bangsa yang mampu dan tangguh dalam memperjuangkan cita-cita bangsa; tercantum dalam Pancasila.
Beberapa waktu yang lalu kita dihangatkan oleh suguhan opini yang menurut penulis menghasilkan percikan api perpecahan. Hal tersebut dimulai ketika sahnya Peraturan Rektor Universitas Andalas (UNAND) tentang Kemahasiswaan yang salah satunya memuat tentang BEM baik tingkat Universitas maupun Fakultas. Agaknya, peraturan tersebut sudah pasti memiliki tujuan yang baik untuk UNAND. Tidak mungkin lahirnya suatu peraturan dengan tujuan agar terjadinya pecah belah antara satu dengan yang lainnya. Baiklah terkait keluarnya Peraturan Rektor, kita samakan persepsi adalah untuk kemajuan dan kebermanfaatan yang berada di lingkupnya.
Akan tetapi bagi sebagian mahasiswa (kususnya BEM) agaknya kurang teliti dan efesien dalam memanfaatkan peraturan tersebut. Bisa kita lihat pada salah satu postingan yang diposting oleh Instagram BEM KM UNAND Kabinet Integral periode 2022/2023 pada tanggal 24 Mei 2023. Postingan tersebut kurang lebih membahas tentang posisi BEM Negara Mahasiswa (sering dikenal 3 nan sabaris) yang tidak taat pada aturan. Disebabkan BEM Fakultas Hukum, FISIP, dan FIB masih memilih untuk menjadi negara sendiri dibandingkan bergabung dengan BEM KM UNAND. Sedangkan, sebagaimana tercantum pada pasal 68 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa “Pimpinan BEM tingkat fakultas disebut Gubernur”. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya BEM 3 nan sabaris mempergunakan kata untuk pemanggilan pimpinan BEM sebagai presiden. Hal tersebut kurang lebih disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh BEM 3 nan sabaris beberapa tahun nan silam.
Benar, bahwa keberadaan hukum itu sebagaimana dalam adagium yang berbunyi “Dwingend Recht En Aanvulend Rech” memiliki arti hukum itu bersifat mengikat dan memaksa. Meskipun demikian, semestinya BEM KM UNAND lebih menggunakan langkah persuasif untuk mencari jalan tengah agar tujuan dari pergerakan BEM selingkup UNAND kembali menjadi satu. Dikarenakan BEM KM Universitas berada pada posisi yang menguntungkan dengan adanya Peraturan Rektor. Akan tetapi, anehnya propaganda yang dipergunakan mempergunakan bahasa yang memuat percikan api perpecahan itu semakin muncul. Semacam BEM NM tolol, tidak taat aturan, pembakang, bahkan yang lebih ironisnya sempat ada yang mengeluarkan bahasa “Anak hukum tapi tidak taat hukum”. Ketika dipandang dalam sudut akademisi, propaganda yang demikian sungguh tidak ada akademisnya lagi.
Boleh saja mengatakan dengan adanya pemisahan menjadi salah satu indikator dari tidak bersatunya gerakan mahasiswa di bumi UNAND. Akan menjadi salah, apabila hanya satu itu saja yang dijadikan indikator utama. Sebab, perlu diadakan penelitian lebih dalam apa yang menjadi penyebab pemisahan dari BEM itu sendiri. Dengan mengetahui akar permasalahan dari pemisahan tersebut, agaknya akan lebih gampang pula untuk menyelesaikannya.
Mari kita berpindah kepada hal yang lebih solutif. Sudah waktunya saat ini kita beranjak untuk membahas agar seluruh permasalahan yang terjadi pada gerakan mahasiswa ini menjadi satu kembali. Setidaknya ada beberapa langkah yang perlu kita perhatikan. Pertama, mengingat kembali tujuan BEM yakni sebagai badan perwakilan yang diakui oleh universitas dalam menyuarakan keadilan serta hak-haknya mahasiswa secara kelembagaan. Mustahil untuk menyuarakan sesuatu kepada elit kampus menggunakan gerakan yang terpecah belah. Dalam artian semua kita sepakat bahwa kebersatuanlah menjadi indikator utama dalam menyukseskan gerakan yang dilakukan. Pada posisi ini mestinya haruslah dilepaskan seluruh ego sektoral yang ada dalam lembaga, baik dari BEM KM maupun BEM NM 3 nan sabaris.
Pada penekanannya bahwa jabatan yang diemban dalam BEM bukan lagi suatu kebanggaan atau untuk gagah-gagahan. Akan tetapi, suatu bentuk sikap keintegritasan dalam memastikan serta mengawal hak-hak yang harus didapatkan oleh mahasiswa. Tentu ketika mereka mampu melepaskan semua sikap egois kelembagaannya akan menghantarkan kepada kemauan untuk saling besarmembesarkan. Pada intinya, kembali pada tujuan BEM itu sendiri yakni organ pergerakan untuk seluruh mahasiswa bukan segelintir.
Kedua, perlu adanya diskusi publik yang dihadiri oleh seluruh mahasiswa aktif UNAND. Sebelum diskusi tersebut dilaksanakan agaknya perlu untuk dibuat MoU yang berisikan bentuk jaminan keamanan serta ketertiban selama forum berjalan. Setelah itu penting pula untuk memberikan kepastian, agar apa pun keputusan yang diambil dalam diskusi harus diikuti oleh kedua belah pihak (BEM KM dan BEM NM 3 nan sabaris). Tentu, sekelas mahasiswa tidak akan menciderai MoU yang telah mereka bangun bersama.
Ketiga, Peraturan Rektor tersebut juga telah mendalilkan bahwa BEM Universitas dan BEM Fakultas sifatnya koordinatif. Dalam artian tidak ada yang menjadi atasan dan bawahan. Agaknya ini dapat menjadi ujung tombak dalam diskusi, agar seluruh BEM yang berada di UNAND untuk segera menghilangkan nama Keluarga Mahasiswa ataupun Negara Mahasiswa. Segera diganti dengan BEM Universitas (BEM U) dan BEM Fakultas (BEM F). Setelah itu panggilan untuk pimpinan tertinggi diganti pula dengan sebutan Ketua BEM U dan BEM F. Agaknya solusi tersebut akan menjadi salah satu jurus penyelemat bagi badan pergerakan mahasiswa kedepannya. Sebab pada posisi ini tidak ada yang menang serta kalah. Semua kita sama, disatukan dalam badan pergerakan yang menyuarakan hak-haknya mahasiswa dan orang-orang tertindas.
Terakhir dikutip dari Prof. Mahfud MD, bahwa ada dalil tertinggi dalam hukum yang mesti kita pergunakan. “Salus Populi Suprima Lex” keselamatan rakyat lebih tinggi dibandingkan konstitusi. Boleh saja kita meninggalkan, menghilangkan, bahkan mengganti konstitusi demi keselamatan rakyat. Mahasiswa adalah rakyat bagi BEM. Terpastikannya hak-hak mahasiswa maka sudah sama dengan menyelamatkannya.
*) Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas